Pembangkangan dan pengorbanan telah
menjadi ciri khas perjuangan Yunani membebaskan diri sejak tahun
1800-an. Kali ini musuh mereka adalah Uni Eropa. (Reuters/Marko Djurica)
Namun pengorbanan ini dirasa layak dilakukan setelah lima tahun terjerembab dalam krisis. Warga Yunani yang lelah berkantong kosong lebih memilih membangkang dikte Eropa ketimbang mati tanpa perlawanan.
Salah satunya adalah Theodoris Sourdis, 38, yang hampir tidak bisa membeli makanan karena tidak ada pemasukan dari bisnis reparasi alat elektronik miliknya di Athena. Menurut dia, lebih baik kelaparan ketimbang martabatnya diinjak-injak.
Akhirnya dia memilih "tidak" pada referendum Minggu lalu, walaupun dia tahu tidak akan ada perbaikan dalam waktu dekat, kehidupannya masih tetap melarat.
Diberitakan New York Times, pembangkangan dan pengorbanan yang dilakukan Yunani memang menjadi ciri khas dari perjuangan negara itu sejak lampau, mengakar sejak dulu di tahun 1800-an, dalam pemberontakan terhadap Kekaisaran Ottoman.
Saat itu banyak pejuang Yunani memilih meledakkan diri ketimbang ditangkap dan dipenjara. Salah satu kisah yang terkenal disebut dengan peristiwa "Dansa Zalongo", yaitu aksi bunuh diri massal wanita di Souli dan anak-anak mereka.
Dalam perang Souli tahun 1803, rakyat kota itu hendak mengevakuasi diri setelah kalah dari Kekaisaran Ottoman yang dipimpin Ali Pasha. Dalam evakuasi, sekumpulan wanita dan anak-anak tersudut di pegunungan Zalongo, Epirus.
Para wanita itu lebih memilih mati ketimbang ditangkap. Dalam mitosnya, anak-anak dilemparkan dari jurang oleh ibu mereka sendiri sementara para wanita tersebut berdansa dan menari sebelum bunuh diri.
Perlawanan juga dilakukan Yunani dalam masa Perang Dunia II. Saat itu Yunani menentang perintah Italia untuk menyerah, membuat Mussolini menginvasi negara itu. Tentara Italia berhasil dipukul mundur ke Albania. Namun akhirnya Yunani takluk juga di tangan tentara Jerman pimpinan Adolf Hitler pada April 1941.
Perlawanan bahkan kerap dilakukan oleh rakyat Yunani dalam protes terhadap pemerintah. Pemandangan mahasiswa yang mengamuk dan membarikade diri di Politeknik Athena dalam demonstrasi menentang junta militer yang memerintah Yunani antara 1967 hingga 1974 sulit untuk dilupakan.
Aksi demo juga hampir setiap hari terjadi di Yunani. Seringkali, aksi ini membuat feri yang menghubungkan antar pulau tidak beroperasi, bus umum dan taksi tidak jalan dan hal lainnya.
Menurut para ahli politik dan sejarawan, sikap perlawanan Yunani muncul jika negara itu dalam keputusasaan. Seperti saat ini ketika Yunani ditekan Uni Eropa untuk kembali mengencangkan ikat pinggang, yang disebut oleh Perdana Menteri Alexis Tsipras sebagai "pemerasan".
Kisah pengorbanan dan perlawanan ini telah mengakar di antara warga Yunani, diajarkan di sekolah-sekolah. Itulah sebabnya, kegembiraan warga usai hasil referendum keluar luar biasa di Alun-alun Syntagma, walau mereka tidak yakin situasi akan membaik. Tapi ini adalah waktu yang tepat untuk melawan balik.
"Memang benar jauh di dalam jiwa warga Yunani ada ide perlawanan mulia melawan semua rintangan," kata Nick Malkoutzis, editor di Macropolis.gr, situs analisa politik.
Sejarawan dari University of Athens, Thanos Veremis, mengatakan warga Yunani menyukai kisah-kisah heroik karena itu membangkitkan semangat mereka. Veremis mengatakan, warga Yunani seakan mengulang kembali cerita itu.
"Mereka melakukan perang kemerdekaan lagi, kali ini melawan Uni Eropa," ujar Veremis.
Credit CNN Indonesia