Selasa, 14 Juli 2015

Perdebatan Perubahan UUD Jepang Memanas


Perdebatan Perubahan UUD Jepang Memanas Kubu pendukung perubahan UUD memandang UUD Jepang merupakan simbol kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. (Courtesy of the National Archives/Newsmakers/Getty Images)
 
Tokyo, CB -- Apakah Undang-Undang Dasar Jepang merupakan simbol perdamaian dan penghormatan terhadap nilai-nilai universal atau pengingat kekalahan yang memalukan?

Sementara Perdana Menteri Shinzo Abe bergegas meloloskan perundangan tak populer yang mengijinkan penggunaan militer Jepang secara lebih luas ini, perdebatan sengit soal keamanan menutupi perbedaan lebih besar terkait UUD pasifis yang dibuat oleh para pejabat di masa Pendudukan AS setelah Jepang kalah Perang Dunia II.

Pendukungnya memandang UUD itu sebagai sumber perdamaian, kemakmuran dan demokrasi Jepang.

Banyak pendukung Abe yang konservatif, dan sejak lama ingin mengubah UUD tetapi tidak memiliki kendaraan politik, memandangnya sebagai dokumen buruk yang disusun “dengan niat buruk dan rasa balas dendam” agar Jepang tetap tunduk selamanya.

“Jika kita mempertahankan UUD yang dibuat oleh GHQ (kantor pusat pendudukan AS) kepada Jepang yang kalah perang, Jepang selamanya akan diingat sebagai negara yang kalah,” ujar seorang kakek tua yang muncul dalam kartun yang dirilis oleh Partai Demokrat Liberal pimpinan Abe ketika menjelaskan alasan UUD itu harus diubah.

Pandangan ini memperkuat kecurigaan dari pengkritik Abe bahwa rancangan perundangan yang diusulkan untuk melonggarkan batasan pada militer merupakan langkah untuk mengubah konstitusi, tidak hanya Pasal 9 yang pasifis, tetapi prinsip-prinsip dasar seperti menghormati hak asasi manusia.

“Menurut saya dia membenci konsep konsitualisme modern, konsep bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh Undang-Undang Dasar,” ujar Yasuo Hasebe, pakar konstitusi dari Universitas Waseda kepada Reuters.

UUD yang dibuat oleh para pejabat AS berdasarkan prinsip dari Jenderal Douglas MacArthur dalam satu pekan yang penuh kekacauan di bulan Februari 1946 ini melepaskan hak untuk berperang atau memiliki angkatan bersenjata, dan mendahulukan demokrasi serta hak asasi manusia.

UUD ini kemudian diperluas agar Jepang memiliki kekuatan militer sebesar militer Inggris, tetapi masih jauh tertinggal dibandingkan angkatan bersenjata negara lain.

Ketika diminta berbicara di depan satu panel parlemen oleh LDP, Hasebe menyatakan perundangan untuk mengijinkan Jepang melaksanakan hak membela diri secara bersama, atau berjuang untuk membela satu negara sahabat yang diserang, tidak konstitusional. Pernyataan tersebut tentu saja menuai berbagai komentar.

Meski muncul kehebohan itu, anggota parlemen dari partai yang berkuasa akan mendorong RUU yang mengijinkan peran lebih besar bagi militer melalui majelis rendah pada minggu ini agar lolos sebelum parlemen reses pada 27 September. Hal ini akan memperburuk tingkat popularitas Abe yang memang semakin menurun.

Interpretasi Baru

Abe menegaskan dia ingin mengubah UUD, tetapi amandemen resmi memerlukan dukungan dari dua pertiga kedua majelis parlemen, dan suara mayoritas dalam referendum. Syarat-syarat ini hingga sekarang belum terpenuhi.

Alih-alih, kabinetnya - yang mengatakan bahwa ancaman keamanan baru seperti China membuat perubahan itu perlu dilakukan - mengadopsi satu resolusi yang menginterpretasi ulang UUD agar bisa melakukan bela diri secara bersama.

“Ini adalah UUD yang diterapkan pada kita dan harus ditulis ulang,” ujar Akira Momichi, guru besar Universitas Nihon, salah satu ilmuwan yang mendukung upaya Abe.

UUD Dasar Jepang disusun berdasarkan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Jenderal Douglas MacArtbur. (Andrew Lopez/Central Press/Getty Images)
“Tetapi proses amandemen merupakan proses dengan hambatan sulit, jadi kita harus mengambil jalan yang terbaik untuk kita semua.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar pakar konstitusi, pengacara dan hakim tidak sependapat.

“Karena mereka tidak bisa mengubah UUD, mereka tidak akan mengindahkannya,” kata Setsu Kobayashi, guru besar Universitas Keio.

Kekhawatiran mengenai perubahan memicu aksi unjuk rasa dan kegiatan akar rumput.

“Ini tidak sekadar masalah Pasal 9,” ujar Keiko Ota, pengacara yang hadir dalam pertemuan kecil di Tokyo.

“Pertanyaannya adalah apakah kita akan mau membuat negara ini tidak lagi diatur oleh hukum,” kata Ota.

Pembela UUD ini mengatakan bahwa meskipun dibuat oleh penjajah, UUD itu sudah diterima secara luas oleh rakyat Jepang.

Sementara kubu yang mendukung perubahan mengatakan perubahan UUD harus dilakukan sesegera mungkin.

“Kami harus, dibawah pemerintah Abe, mengambil segala tindakan untuk melindungi Jepang,” ujar Yoshiko Sakurai, pengamat dan sekutu Abe. “Ini adalah waktu yang tepat untuk menulis ulang UUD.”

Credit  CNN Indonesia