Djoko Siswanto, Direktur Pengusahaan
Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Rabu (8/7). (CNN
Indonesia/Diemas Kresna Duta)
Djoko Siswanto, Direktur Pengusahaan Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai produksi energi non-konvesional sampai saat ini belum maksimal karena kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) terkenada kendala sejumlah masalah, seperti perizinan, teknis pengeboran, hingga kecilnya hitungan investasi dan hasil yang diperoleh.
“Kami akan ubah secara bertahap dari PSC (production sharing contract) ke royalty and tax, gross production atau apalah namanya. Alasannya sampai detik ini produksi energi non-konvensional cuma nol koma sekian (juta kaki kubik per hari),” ujar Djoko di kantornya, Jakarta, Rabu (8/7).
|
“Saya pikir persetujuan tidak perlu lagi dari SKK Migas karena mereka sudah menjadi bagian dari Kementerian sekarang. Kalau mereka tidak mau nurut, kita bubarin aja,” ujar Djoko mengancam.
Pada kesempatan berbeda, Elan Biantoro, Kepala Humas SKK Migas mengaku perubahan rezim pertambangan energi non-0konvensional masih dalam wacana dan akan melalui pembahasan yang panjang. Meski begitu, Elan mengakui bahwa dengan format PSC yang sekarang diterapkan kepada KKKS non-konvensional dinilai belum optimal untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi dan produksi CBM dan Shale Gas Indonesia.
“Tapi kalau ada opsi royalty and tax atau gross production PSC, kami lebih condong ke gross production PSC. Soalnya kalau dengan menerapkan gross production PSC, SKK Migas masih bisa melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap good engineering practise, safety hingga enviromental yang dilakukan KKKS," tuturnya. "Toh kalau pakai sistem gross production PSC pemerintah juga masih dapat memperoleh bagian negara berupa produk gas yang bisa digunakan untuk kepentingan dalam negeri.”
Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia terdapat sedikitnya 54 wilayah kerja (WK) energi nonkonvesional yang menerapkan sistem PSC konvensional. Akan tetapi, dari upaya pengembangan terhadap puluhan WK tadi baru Vico Indonesia yang telah berhasil memproduksi CBM dari wilayah kerjanya di lapangan Mutiara, Kalimantan Timur.
Lantaran hanya memproduksi CBM tak lebih dari 0,5 juta kaki kubik per hari (mmscfd), menurut Elan produksi CBM Vico pun dinilai belum memenuhi perhitungan keekonomian.
“Yang jelas dengan menerapkan PSC pada pengembangan CBM itu tidak tepat. Dari pengembangan sejak 2008, baru Vico yang telah berproduksi namun pengembangannya masih belum optimal dan tidak komersial,” tutur Elan.
Credit CNN Indonesia