CB, Washington – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump,
bakal membuka front perang dagang baru dengan mengakhiri perlakuan
dagang istimewa untuk India, yang selama ini berupa produk bebas bea
masuk senilai sekitar US$5.6 miliar atau sekitar Rp80 triliun ekspor ke
AS.
Pemerintah India menganggap keputusan Trump ini bukanlah hal besar yang merugikan dan mengatakan tidak akan menerapkan tarif balasan terhadap impor dari AS.
Namun, kelompok oposisi bisa menggunakan peristiwa ini sebagai cara untuk mempermalukan PM India, Narendra Modi, menjelang pemilu pada April dan Mei 2019.
“Saya melakukan ini setelah melakukan pembahasan dengan pemerintah India. Saya telah menetapkan India tidak bisa meyakinkan AS bahwa negara itu akan menyediakan akses yang masuk akal ke pasar India,” kata Trump dalam surat kepada para pimpinan Kongres seperti dilansir Reuters pada Selasa, 5 Maret 2019.
Saat ini, India merupakan penerima terbesar Generalized System of Preferences (GSP), yang dimulai sejak 1970an. Penghentian India dari program ini bakal menjadi hukuman terkeras kepada negara di Asia Selatan itu sejak Trump menjabat pada Januari 2017.
Rencana Trump ini diumumkan justru menjelang tercapainya kesepakatan dagang AS dengan Cina, yang bisa membuat AS menurunkan tarif untuk impor setidaknya sekitar US$200 miliar atau sekitar Rp2.800 triliun.
Menurut kantor Perwakilan Dagang AS, pencabutan India dari program GSP ini akan berlangsung setelah 60 hari diumumkan. Ini akan diumumkan lewat proklamasi kepresidenan.
Menurut Ajay Shai, direktur jenderal Federation of Indian Export Organisations, sejumlah produk India yang bakal terkena kebijakan Trump ini adalah pertanian, kelautan, produk kerajinan tangan.
Menurut Menteri Perdagangan India, Anup Wadhawan, GSP ‘hanya’ memberi keuntungan sekitar US$190 juta atau sekitar Rp2.7 triliun. GSP mencakup sekitar 3.700 produk namun, India hanya menggunakan 1.784 produk saja. Negara yang tidak masuk dalam program GSP selama ini terkena tarif impor 2 persen ke atas.
Aljazeera melansir Trump juga bakal mencabut program GSP ini untuk Turki, yang dianggap sudah menjadi negara maju. Turki mengikuti program ini sejak 1975. Turki juga sudah lulus dari program sejenis yang digelar negara maju lainnya.
Pemerintah India menganggap keputusan Trump ini bukanlah hal besar yang merugikan dan mengatakan tidak akan menerapkan tarif balasan terhadap impor dari AS.
Namun, kelompok oposisi bisa menggunakan peristiwa ini sebagai cara untuk mempermalukan PM India, Narendra Modi, menjelang pemilu pada April dan Mei 2019.
“Saya melakukan ini setelah melakukan pembahasan dengan pemerintah India. Saya telah menetapkan India tidak bisa meyakinkan AS bahwa negara itu akan menyediakan akses yang masuk akal ke pasar India,” kata Trump dalam surat kepada para pimpinan Kongres seperti dilansir Reuters pada Selasa, 5 Maret 2019.
Saat ini, India merupakan penerima terbesar Generalized System of Preferences (GSP), yang dimulai sejak 1970an. Penghentian India dari program ini bakal menjadi hukuman terkeras kepada negara di Asia Selatan itu sejak Trump menjabat pada Januari 2017.
Rencana Trump ini diumumkan justru menjelang tercapainya kesepakatan dagang AS dengan Cina, yang bisa membuat AS menurunkan tarif untuk impor setidaknya sekitar US$200 miliar atau sekitar Rp2.800 triliun.
Menurut kantor Perwakilan Dagang AS, pencabutan India dari program GSP ini akan berlangsung setelah 60 hari diumumkan. Ini akan diumumkan lewat proklamasi kepresidenan.
Menurut Ajay Shai, direktur jenderal Federation of Indian Export Organisations, sejumlah produk India yang bakal terkena kebijakan Trump ini adalah pertanian, kelautan, produk kerajinan tangan.
Menurut Menteri Perdagangan India, Anup Wadhawan, GSP ‘hanya’ memberi keuntungan sekitar US$190 juta atau sekitar Rp2.7 triliun. GSP mencakup sekitar 3.700 produk namun, India hanya menggunakan 1.784 produk saja. Negara yang tidak masuk dalam program GSP selama ini terkena tarif impor 2 persen ke atas.
Aljazeera melansir Trump juga bakal mencabut program GSP ini untuk Turki, yang dianggap sudah menjadi negara maju. Turki mengikuti program ini sejak 1975. Turki juga sudah lulus dari program sejenis yang digelar negara maju lainnya.
Credit tempo.co