Di tengah insiden
penangkapan ABK Cina oleh TNI AL di Laut Natuna, Menteri Pertahanan
Ryamizard Ryacudu mengatakan akan menambah kekuatan militer di Laut Cina
Selatan, meski begitu dia menyatakan bahwa Indonesia tetap ingin
menjaga hubungan baik dengan Cina.
Dalam wawancara eksklusif
dengan BBC Indonesia, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan
bahwa masalah pencurian ikan di Laut Natuna sebagai masalah kecil yang
tak seharusnya menjadi urusan negara."Saya bilang begini, itu masalah mencuri-curi ikan, itu kan masalah kecil. Masak masalah negara? Hubungan negara sudah baik. (Ada yang) Mencuri ikan? Ya silakan tangkap saja. Kapalnya dihancurin, dihancurin aja, kenapa (apa salahnya)? Tapi hubungan antarnegara tak boleh rusak. Saya sampaikan ke duta besar, jangan sampai rusak hubungan, saya sampaikan begitu," ujar Ryamizard.
Namun meski ingin menjaga hubungan baik dengan Cina, Ryamizard juga berencana meningkatkan kekuatan militer di kawasan tersebut.
"Itu nanti ada satu flight pesawat tempur, ada tiga nanti kapal jenis korvet, kemudian ada satu pasukan marinir, Paskhas, satu batalion Angkatan Darat di situ. Marinir nanti lengkap dengan sea rider-nya. Bersenjata semua itu. Kalau ada apa-apa itu nanti dia (masuk)," kata Ryamizard.
Saat ditanya mulai kapan rencana ini berjalan, Ryamizard mengatakan, "Seharusnya sudah mulai tahun ini tapi kan kita tunggu dananya turun dulu."
Jadi masih rencana? "Rencana sudah matang, tinggal pelaksanaan saja. Ada dana, masuk."
Tak hanya Cina
Seorang kapten kapal patroli, Samuel Sandi Rundupadang, menceritakan pengalamannya berpatroli, bahwa bukan hanya kapal ikan dari Cina yang masuk ke perairan Indonesia dan melarikan diri tapi juga dari negara-negara lain.Namun kapal-kapal ikan Cinalah yang sering dikawal oleh kapal penjaga pantainya.
"Misalnya dari Malaysia, Vietnam, Thailand, itu sangat sering mereka lari, jadi begitu mereka kabur, kita harus melakukan tembakan peringatan. Tahun 2010 saya sudah ketemu mereka (kapal Cina) dengan coastguard-nya. Dan mereka selalu posisinya standby di sekitar Kepulauan Spratly, nggak jauh dari wilayah teritorial Indonesia. Jadi begitu kapalnya tertangkap, kapal coastguard itu langsung bergegas ke posisi kita untuk membebaskan kapal nelayannya itu," kata Samuel.
Biasanya, menurut Samuel, mereka hanya melakukan prosedur pengusiran agar kapal ikan asing keluar dari wilayah Indonesia.
Namun Samuel juga menambahkan, kadang, saat patrolinya menahan kapal ikan Cina untuk dibawa ke pelabuhan dan menjalani interogasi, kapal penjaga pantai akan berkeras menahan.
Jika kapal patroli tak mau melepas, maka, menurut Samuel, pihak penjaga pantai Cina akan melakukan intimidasi dengan ancaman penembakan.
Cina lewat juru bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan para nelayannya hanya melakukan kegiatan menangkap ikan secara biasa di perairan tersebut dan telah menyampaikan protes keras terhadap aksi TNI-AL menangkap delapan ABK Cina di Natuna.
Komandan Pangkalan AL di Ranai, Kolonel Laut (P) Arif Badrudin, mengatakan kedelapan ABK asal Cina itu ditahan setelah kapal Gui Bei Yu 27088 yang mereka tumpangi berupaya melarikan diri dari kejaran kapal frigat KRI Oswald Siahaan-354.
Kedelapan warga Cina itu diduga melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Natuna.
Mereka kini menjalani proses hukum di Pangkalan AL di Ranai, Kepulauan Riau.
RI panggil diplomat Cina
Protes keras Cina ini ditanggapi oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Arrmanatha Nasir yang menyatakan bahwa kapal Cina diduga melanggar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.“Sejak ada informasi kapal Cina ditahan karena yang bersangkutan melakukan pelanggaran di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) karena dugaan illegal fishing, sudah kewajiban Kementerian Luar Negeri untuk mengeluarkan notifikasi kekonsuleran kepada Kedutaan Besar Cina di sini. Kita akan keluarkan setelah mendapat informasi lengkap dari TNI AL,” kata Arrmanatha.
Insiden serupa pernah terjadi pada bulan Maret. Atas kejadian itu, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi memanggil kuasa usaha Kedutaan Besar Cina di Jakarta pada 19 Maret lalu.
Pengamat pertahanan dari CSIS Evan Laksmana mengatakan bahwa insiden yang terjadi pada Maret lalu dilakukan oleh satuan patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan bukan dari TNI-AL seperti yang terjadi pada Jumat (27/5) lalu, sehingga menimbulkan reaksi yang berbeda pula.
"Dari sisi ketegasan kita, secara kebijakan pemerintah memang selalu ada, namun mungkin karena ada beberapa aktor keamanan maritim yang berbeda-beda yang melakukan patroli, respons dan level insidennya juga akan berbeda-beda," kata Evan.
Namun menurut Evan, langkah yang akan diambil oleh Kementerian Pertahanan untuk menambah kekuatan di Laut Natuna harus ditegaskan, apakah sebagai cara untuk mengantisipasi pencurian ikan atau untuk mengimbangi upaya Cina memasuki wilayah Indonesia.
Dia juga menyatakan bahwa langkah penguatan militer di pos-pos terluar, termasuk Laut Natuna, sudah dilakukan sejak tahun 2000an, di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Pos-pos militer itu kalau misalnya memperkuat gedung atau menambah pasukan Angkatan Darat, ya sebetulnya tidak relevan. Karena kalau masalahnya mengkoordinasikan patroli maritim 24 jam sehari, tentu yang dibutuhkan bukan jumlah pasukan, tapi gimana kita memperbaiki pangkalan angkatan laut, jumlah kapal patroli yang ada, itu sebenarnya lebih penting dibanding jumlah pasukan atau pesawat tempur. Karena pesawat tempur tidak akan bisa dipakai untuk patroli illegal fishing secara keseharian," kata Evan.
Evan mengingatkan bahwa Indonesia tidak termasuk dalam negara yang terlibat sengketa wilayah karena Laut Natuna jelas diakui menjadi milik Indonesia.
Namun soal lokasi terjadinya insiden, menurut Evan, masih belum jelas, apakah itu dalam wilayah ZEE Indonesia atau Cina.
Credit BBC