Menteri Pertama Skotlandia Nicola
Sturgeon memerintahkan para pejabat pemerintahannya untuk menyusun
rencana referendum kemerdekaan kedua jika Brexit benar terjadi.
(Reuters/Russell Cheyne)
Perhitungan suara di 98 persen distrik di seluruh Britania Raya menunjukkan 51,82 persen suara menyatakan Inggris harus keluar dari Uni Eropa. Sementara, hanya 48,18 persen suara yang menyatakan Inggris harus tetap berada di blok itu.
Diberitakan The Telegraph pada Jumat (24/6), Sturgeon memerintahkan seluruh anggota parlemen Skotlandia untuk mempertimbangkan "semua opsi untuk melindungi hubungan kita dengan Eropa dan Uni Eropa" jika Skotlandia terancam meninggalkan Uni Eropa karena mayoritas warga Inggris memilih 'Keluar'.
Penghitungan suara di Skotlandia sendiri menujukkan 62 persen warga menginginkan tetap bergabung dengan Uni Eropa, melawan 38 persen ingin keluar dari UE.
Penghitungan
suara di Skotlandia menujukkan 62 persen warga menginginkan tetap
bergabung dengan Uni Eropa, melawan 38 persen ingin keluar dari UE.
(Reuters/Clodagh Kilcoyne)
|
Salmond merupakan pemimpin Partai Nasional Skotlandia dan mantan menteri pertama Skotlandia ketika negaranya menjalani referendum kemerdekaan pada 2014 lalu. Ia kini duduk di parlemen Inggris mewakili Skotlandia dan merupakan penggiat kampanye pro-Eropa dalam referendum Brexit.
"Saya pikir ini mencerminkan dua pandangan yang berbeda untuk masing-masing negara. Perihal Eropa saling terkait dengan perihal kemerdekaan, dan banyak warga yang akan memilih [bergabung dengan] Eropa karena mereka mendukung kemerdekaan Skotlandia dalam konteks Eropa," ujarnya.
Salmond mengaku sadar bahwa dengan mendukung Uni Eropa, Skotlandia harus tunduk kepada berbagai kebijakan blok itu, termasuk soal imigrasi. Terkait hal ini, Salmond menyatakan, "Skotlandia belum penuh. Artinya, kami jauh lebih peduli soal pertumbuhan negara, penduduk dan semangat ekonomi serta memungkinkan siapapun yang memiliki komitmen dan keterampilan untuk menetap di negara kami."
"Kami lebih seperti Amerika 100 tahun yang lalu, ketimbang Inggris saat ini," ucap Salmond.
Credit CNN Indonesia
Inggris Keluar Uni Eropa, PM David Cameron Mundur
Perdana Menteri Inggris David Cameron
menyatakan mengundurkan diri usai referendum Brexit yang memastikan
negara itu keluar dari Uni Eropa. (Reuters/Stefan Wermuth)
Dalam pernyataannya Jumat (24/6) Cameron di depan kantornya di London mengatakan akan mengundurkan diri dari kursi perdana menteri sebelum musim gugur tahun ini.
Cameron dalam pidatonya yang dikutip dari The Guardian mengaku bangga atas kinerjanya sebagai pemimpin Inggris.
Dia telah membentuk koalisi pemerintahan, mengadakan referendum Skotlandia dan referendum Brexit. Cameron sendiri adalah pendukung Inggris tetap berada di UE.
"Saya memperjuangkan referendum dengan kepala dan hati," kata Cameron.
Namun dia mengatakan, rakyat Inggris telah membuat keputusan. "Rakyat Inggris telah memutuskan mengikuti jalan lain, jadi mereka perlu perdana menteri baru," ujar Cameron.
Traktat 50 adalah perjanjian keluar dari Uni Eropa yang akan memakan waktu hingga dua tahun. Selama itu, akan dilakukan berbagai perundingan untuk transisi.
Selama belum ada PM terpilih baru, Cameron menyatakan tetap meyakinkan pasar dan investor bahwa perekonomian mereka masih kuat. Dia juga meyakinkan warga Inggris di luar negeri dan warga Uni Eropa di Inggris bahwa tidak akan ada perubahan dalam waktu dekat.
Boris Johnson, tokoh Partai Konservatif pendukung Brexit disinyalir merupakan tokoh kuat pengganti Cameron. Namun hal ini masih harus ditentukan dalam rapat Partai Konservatif. Jika ada dua calon, maka akan ditentukan melalui pemungutan suara.
Credit CNN Indonesia