China sendiri menilai bahwa pengadilan
arbitrase yang berbasis di Den Haag, Belanda, itu tidak memiliki
yurisdiksi yang relevan dalam sengketa Laut China Selatan. (Reuters/CSIS
Asia Maritime Transparency Initiative)
Dalam wawancara dengan Reuters pada Rabu (30/6), veteran pengacara Washington itu mengaku yakin bahwa Pengadilan Arbitrase Permanen, yang berbasis di Den Haag, Belanda, akan mengeluarkan keputusan yang mendukung klaim Manila melawan Beijing pada 12 Juli mendatang.
Namun, ia tak sedikit pun ragu bahwa Manila akan memenangkan argumen hukum terhadap kasus ini, sesuai dengan berbagai perkiraan para pakar internasional.
"Kami yakin kami akan berhasil," kata Reichler, sembari menyebut bahwa kasus ini merupakan salah satu kasus yang memiliki jangkauan hukum terjauh oleh pengadilan itu.
Kasus ini diajukan oleh Filipina untuk menantang klaim China, yang mencapai hampir 90 persen, di Laut China Selatan dengan sembilan garis putus-putus, atau 'nine-dashed line.' Garis ini meliputi ratusan pulau, terumbu karang dan wilayah perairan yang tumpang-tindih dengan Filipina, Taiwan, Malaysia, Brunei, Vietnam dan Indonesia di Natuna.
Reichler mengatakan jika keputusan pengadilan memenangkan gugatan yang dilayangkan Filipina, maka akan "membuat China tak dapat meluncurkan klaim seperti itu" terhadap Laut China Selatan di mata hukum. Keputusan pengadilan akan diambil dengan mempertimbangkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, UNCLOS.
China sendiri menilai bahwa pengadilan arbitrase itu tidak memiliki yurisdiksi yang relevan dalam sengketa Laut China Selatan dan tidak harus menghasilkan keputusan apapun.
Terkait hal ini, Reichler menyatakan jika China menolak keputusan pengadilan berarti negara itu "pada dasarnya menyatakan diri sebagai negara pelanggar hukum," yang tidak menghormati aturan hukum.
Reichler memiliki reputasi sebagai pengacara internasional yang mewakili negara-negara kecil melawan kekuatan besar. Salah satu kasus yang pernah ditanganinya adalah ketika Nikaragua menuduh Amerika Serikat mendanai kelompok pemberontak sayap kanan Cobra melawan pemerintahan sayap kiri pada dekade 1980-an silam.
Keputusan
Pengadilan Arbitrase Permanen pada Juli mendatang akan menentukan klaim
China terhadap perairan Laut China Selatan, LCS, yang diperkirakan kaya
minyak. (Reuters/U.S. Navy)
|
Reichler memperkirakan China akan menghadapi tekanan kuat untuk mematuhi keputusan pengadilan internasional dari berbagai negara yang bersengketa dengannya di Laut China Selatan.
"Mungkin ada saatnya nanti China akan menyadari bahwa mereka akan lebih merugi, ketimbang mendapatkan manfaat, dari upanya yang menciptakan situasi yang kacau tanpa hukum," katanya.
Filipina berpendapat bahwa klaim China di perairan dengan nilai perdagangan mencapai US$5 triliun itu melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan membatasi hak untuk mengeksploitasi sumber daya dan daerah penangkapan ikan dalam zona ekonomi eksklusifnya.
Sekutu Filipina, Amerika Serikat, menyatakan mendukung pengadilan itu dan mendesak adanya resolusi yang damai atas sengketa itu. "Kami mendukung resolusi damai sengketa di Laut China Selatan, termasuk penggunaan mekanisme hukum internasional seperti arbitrase," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS Anna Richey-Allen.
Sebelumnya, AS sudah memperingatkan China agar tidak mengambil tindakan provokatif tambahan menjelang keputusan pengadilan. AS juga telah memperingatkan China untuk tidak mendeklarasikan zona pertahanan udara di Laut China Selatan, seperti yang dilakukannya di Laut China Timur pada 2013 lalu.
Credit CNN Indonesia