Abdelaziz Bouteflika mundur dari jabatan presiden Aljazair setelah didemo rakyat.
CB,
ALJIR — Pemerintah sementara Aljazair sedang menghadapi banyak tekanan
oleh masyarakat di negara itu, setelah mantan presiden Abdelaziz
Bouteflika resmi mengundurkan diri. Banyak dari mereka yang menuntut
pengganti pria berusia 82 tahun itu adalah sosok yang tentunya lebih
baik dalam segala hal.
“Kami menginginkan seorang presiden yang mengerti apa yang kami
inginkan,” ujar Bouzid Abdoun, warga Aljazair yang berprofesi sebagai
seorang insinyur di perusahaan energi negara Sonelgaz.
Abdoun
menuturkan bahwa banyak orang yang tetap ingin tinggal di Aljazair dan
tak akan bermigrasi ke Eropa. Aljazair telah dilanda gelombang protes
dalam enam pekan terakhir, di mana masyarakat menginginkan reformasi
demokratis di negara itu.
Bouteflika mengakhiri jabatan
setelah 20 tahun berkuasa sebagai presiden Aljazair pada Selasa (2/4).
Pengunduran dirinya didorong oleh militer dan kini negara itu berada
dalam kekuasaan pemerintah sementara hingga pemilihan digelar tiga bulan
ke depan.
Para pengunjuk rasa telah menyuarakan penolakan
jika presiden baru di negara itu berasal dari ‘le pouvoir’ atau julukan
populer bagi veteran perang berusia lanjut, taipan bisnis, serta
fungsionaris partai Front Pembebasan Nasional (FLN). Mereka juga
mengatakan tidak menerima pemerintah sementara untuk melanjutkan
kekuasaan.
“Aksi protes damai akan terus berlanjut,” ujar warga bernama Mustapha Bouchachi yang juga memimpin sejumlah aksi protes.
Sementara
itu, mantan ketua partai FLN, Ali Benflis mengatakan sejumlah tokoh
penting di Aljazair harus mundur. Mereka di antaranya adalah ketua
majelis tinggi yang mendukung Bouteflika, Abdelkader Bensalah, perdana
menteri sementara Noureddine Bedoui, dan ketua dewan konstitusi Tayeb
Belai.
“Warga Aljazair baru saja menutup salah satu bab paling kelam dalam sejarah negara ini,” ujar Benflis.
Pengunjuk
rasa secara khusus menolak Bedoui untuk melanjutkan kekuasaan dalam
pemerintahan Aljazair. Banyak yang melihat dirinya sebagai pendukung
lingkaran kekuasaan. Saat menjadi menteri dalam negeri, ia juga dinilai
telah mengawasi pemilihan agar tidak berjalan secara bebas dan adil.
Aljazair
telah dilanda gelombang protes besar-besaran, di mana warga melakukan
demonstrasi menuntut Bouteflika mundur dari jabatannya. Setelah memimpin
negara tersebut selama 20 tahun, dia berencana mencalonkan diri kembali
menjadi presiden.
Demonstrasi yang semakin tak terkendali,
ditambah hilangnya dukungan dari militer, memaksa Bouteflika
mengundurkan diri. Dewan Konstitusi Aljazair telah menerima pengunduran
dirinya. Dewan juga telah mengumumkan kepada parlemen jabatan presiden
secara resmi kosong.
Dalam pidato perpisahannya,
Bouteflika meminta maaf kepada rakyat dan rekan-rekan pemerintahan atas
kegagalan yang dilakukan selama ini. Ia mengucapkan selamat tinggal dan
sekaligus berterima kasih kepada warga Aljazair dalam 20 tahun terakhir.
“Aljazair akan memiliki presiden baru dan saya berdoa
agar tuhan akan membantunya mengejar ambisi dan harapan anak-anak
pemberani," ujar Bouteflika.
Bouteflika menjadi salah satu
pemimpin negara yang tetap berhasil berkuasa saat Arab Spring atau
Musim Semi Arab terjadi pada 2011. Dalam gerakan tersebut, sejumlah
pemimpin di negara-negara Timur Tengah, khususnya di sekitar Aljazair
ditumbangkan.