MOSKOW
- Pemerintah Rusia menganggap Amerika Serikat (AS) ingkar janji dalam
tujuan perang melawan ISIS di Suriah. Menurut Moskow, AS ingin memecah
negara yang dipimpin Presiden Bashar al-Assad itu.
Tudingan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Dia mengkritik enggannya pasukan Washington untuk hengkang dari wilayah Suriah meski kelompok Islamic State atau ISIS telah kalah.
”Sangat mungkin Amerika telah mengambil jalan untuk membagi negara ini. Mereka melepaskan jaminannya yang diberikan kepada kami, bahwa satu-satunya tujuan kehadiran mereka di Suriah—tanpa undangan pemerintah yang sah—adalah untuk mengalahkan kelompok Islamic State dan para teroris,” kata Lavrov.
Menurutnya, sikap Washington yang mempertahankan kontingen militer di negara yang dilanda perang saudara itu menunjukkan tujuannya yang sebenarnya secara terbuka.
”Sekarang (orang Amerika) mengatakan bahwa mereka akan mempertahankan kehadiran mereka sampai mereka memastikan proses penyelesaian politik di Suriah dimulai, yang akan menghasilkan perubahan rezim,” ujar Lavrov dalam sebuah konferensi di Sochi, yang dikutip Russia Today, Kamis (8/2/2018). ”Kami tahu tentang mereka.”
AS memiliki hampir 2.000 prajurit yang saat ini ditempatkan di Suriah. Pada bulan Desember, Pentagon mengumumkan bahwa pasukan AS akan tetap berada di wilayah Suriah selama dibutuhkan untuk mendukung sekutunya dalam mencegah kembalinya kelompok teroris.
Pemerintah Suriah menganggap penempatan tentara AS di wilayah kedaulatannya sebagai tindakan ilegal. Namun, Washington membenarkan kehadiran pasukannya dengan dalih memerangi militan ISIS.
Moskow, yang beroperasi di negara tersebut atas permintaan pemerintah Suriah, menegaskan bahwa AS tidak memiliki alasan untuk memiliki kehadiran militer di negara tersebut tanpa seizin pemerintah Assad.
Washington diketahui telah mempersenjatai dan mendanai berbagai kelompok pemberontak atau opisisi Suriah di bawah kelompok Free Syria Army (FSA) dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didominasi Kurdi.
”AS, menggoda berbagai segmen masyarakat Suriah yang menentang pemerintah dengan senjata di tangan mereka, ini dapat menyebabkan konsekuensi yang sangat berbahaya,” kata Lavrov memperingatkan.
FSA yang didukung Turki saat ini terlibat dalam pertempuran dengan faksi-faksi SDF seperti Unit Perlindungan Kurdi (YPG), di Afrin. Isu-isu ini telah menyebabkan ketegangan serius antara Ankara dan Washington.
Sementara itu, FSA juga mencoba membujuk AS untuk menghidupkan kembali program CIA berupa bantuan uang tunai, senjata dan instruktur untuk melakukan pemberontakan moderat terhadap rezim Assad.
Tudingan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Dia mengkritik enggannya pasukan Washington untuk hengkang dari wilayah Suriah meski kelompok Islamic State atau ISIS telah kalah.
”Sangat mungkin Amerika telah mengambil jalan untuk membagi negara ini. Mereka melepaskan jaminannya yang diberikan kepada kami, bahwa satu-satunya tujuan kehadiran mereka di Suriah—tanpa undangan pemerintah yang sah—adalah untuk mengalahkan kelompok Islamic State dan para teroris,” kata Lavrov.
Menurutnya, sikap Washington yang mempertahankan kontingen militer di negara yang dilanda perang saudara itu menunjukkan tujuannya yang sebenarnya secara terbuka.
”Sekarang (orang Amerika) mengatakan bahwa mereka akan mempertahankan kehadiran mereka sampai mereka memastikan proses penyelesaian politik di Suriah dimulai, yang akan menghasilkan perubahan rezim,” ujar Lavrov dalam sebuah konferensi di Sochi, yang dikutip Russia Today, Kamis (8/2/2018). ”Kami tahu tentang mereka.”
AS memiliki hampir 2.000 prajurit yang saat ini ditempatkan di Suriah. Pada bulan Desember, Pentagon mengumumkan bahwa pasukan AS akan tetap berada di wilayah Suriah selama dibutuhkan untuk mendukung sekutunya dalam mencegah kembalinya kelompok teroris.
Pemerintah Suriah menganggap penempatan tentara AS di wilayah kedaulatannya sebagai tindakan ilegal. Namun, Washington membenarkan kehadiran pasukannya dengan dalih memerangi militan ISIS.
Moskow, yang beroperasi di negara tersebut atas permintaan pemerintah Suriah, menegaskan bahwa AS tidak memiliki alasan untuk memiliki kehadiran militer di negara tersebut tanpa seizin pemerintah Assad.
Washington diketahui telah mempersenjatai dan mendanai berbagai kelompok pemberontak atau opisisi Suriah di bawah kelompok Free Syria Army (FSA) dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didominasi Kurdi.
”AS, menggoda berbagai segmen masyarakat Suriah yang menentang pemerintah dengan senjata di tangan mereka, ini dapat menyebabkan konsekuensi yang sangat berbahaya,” kata Lavrov memperingatkan.
FSA yang didukung Turki saat ini terlibat dalam pertempuran dengan faksi-faksi SDF seperti Unit Perlindungan Kurdi (YPG), di Afrin. Isu-isu ini telah menyebabkan ketegangan serius antara Ankara dan Washington.
Sementara itu, FSA juga mencoba membujuk AS untuk menghidupkan kembali program CIA berupa bantuan uang tunai, senjata dan instruktur untuk melakukan pemberontakan moderat terhadap rezim Assad.
Credit sindonews.com