Rabu, 14 Februari 2018

Siap Kirim Kapal Perang, Inggris Ingin Konfrontasi dengan China


Siap Kirim Kapal Perang, Inggris Ingin Konfrontasi dengan China
Kapal perang Inggris, HMS Sutherland, dikirim ke kawasan sengketa di Laut China Selatan pada bulan depan. Foto/The Telegraph

LONDON - Inggris bertekad untuk konfrontasi dengan China dengan akan mengirim kapal perang ke kawasan sengketa di Laut China Selatan pada bulan depan. Langkah London ini bisa memantik kemarahan Beijing.

Menteri Pertahanan Inggris Gavin Williamson mengatakan kapal perang HMS Sutherland akan berlayar melewati kawasan sengketa tersebut dalam perjalanan pulang dari Australia. Aksi moda militer anti-kapal selam itu untuk menegaskan kebebasan hak navigasi.

”Dia akan berlayar melewati Laut China Selatan dan memperjelas bahwa Angkatan Laut kita memiliki hak untuk melakukan itu,” katanya kepada surat kabar The Australian setelah kunjungan dua hari ke Sydney dan Canberra.

China mengklaim hampir semua perairan strategis di Laut China Selatan. Namun, Taiwan Filipina, Brunei, Malaysia, dan Vietnam juga memiliki klaim yang saling tumpang tindih.

China sendiri sedang mengembangkan kemampuan militernya dengan memperkuat dan membangun infrastruktur di pulau-pulau sengketa yang menghasilkan lebih dari USD5 triliun setiap tahunnya dari lalu lintas kapal dunia.

Beijing beberapa kali marah dengan patroli dengan dalih menegakkan kebebasan navigasi sebelumnya dilakukan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat (AS). China merespons dengan mengirim kapal perang untuk menghadapi patroli kapal-kapal Angkatan Laut AS.

Belum lama ini, kapal perang AS patroli dalam jarak 12 mil laut dari wilayah sengketa atau pulau buatan yang dibangun oleh China di Laut China Selatan. Jarak itu diakui secara internasional sebagai batas teritorial.

Williamson tidak akan mengatakan apakah kapal fregat Inggris itu akan berlayar dalam jarak 12 mil laut seperti yang dilakukan kapal perang AS.

“(Namun) kami benar-benar mendukung pendekatan AS mengenai hal ini, kami sangat mendukung apa yang telah dilakukan AS,” ujarnya.

Richard Bitzinger, pakar pertahanan regional di S Rajaratnam School of International Studies di Singapura, mengatakan bahwa masyarakat internasional tidak berdaya untuk bereaksi terhadap ketegasan China di wilayah tersebut meskipun ada kata-kata yang sulit diucapkan Inggris.

”Ini semua huff-and-puff, dan semuanya tetap sama,” katanya.

”Faktanya adalah China telah menciptakan sebuah usaha yang sesuai dengan pulau-pulau ini. Laut China Selatan adalah bagian dari kepentingan nasional yang strategis, dan karena itu kehadiran China di Laut China Selatan bersifat permanen dan mungkin menjadi hegemonik. Sedikit orang yang bisa melakukannya,” imbuh dia.

Bonnie Glaser, penasihat senior untuk Asia di Centre for Strategic and International Studies di Washington, mengatakan kapal Angkatan Laut Australia, Selandia Baru, Jepang dan mungkin Prancis telah berlayar melewati perairan tersebut, namun sebagian besar negara tetap diam mengenai operasi semacam itu. 


”Ada Angkatan Laut selain Angkatan Laut AS yang berlayar melewati Laut China Selatan, namun mereka tidak menjamin kebebasan operasi navigasi,” kata Glaser kepada The Telegraph, Selasa (13/2/2018).

”Saya ragu ada negara lain selain AS yang berlayar dalam jarak 12 mil,” ujarnya.

Glaser mengatakan bahwa dia meragukan China akan marah dengan jenis ”patroli transit” tingkat rendah ini. Kendati demikian, Beijing dengan tajam mengkritik Inggris pada musim panas lalu ketika pertama kali menaikkan prospek kebebasan patroli navigasi.

Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson mengatakan bahwa dia ingin mengirim kapal induk baru milik Angkatan Laut Inggris ke Laut China Selatan. Sementara itu, mantan menteri pertahanan Sir Michael Fallon mengatakan bahwa Inggris akan menggunakan hak untuk menavigasi Laut China Selatan.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Lu Kang mengatakan bahwa negara-negara yang terlibat dalam sengketa teritorial  telah “bekerja sama” untuk menjaga perdamaian.

”Namun kita melihat negara-negara lain yang bersikeras untuk menimbulkan masalah saat situasi sedang menuju ketenangan di Laut China Selatan,” kata Lu dalam sebuah briefing regional.



Credit  sindonews.com