Selasa, 27 Februari 2018

Serangan di Ghouta Timur Berlanjut Meski Ada Gencatan Senjata


Serangan di Ghouta Timur Berlanjut Meski Ada Gencatan Senjata
Serangan di Ghouta Timur terus berlanjut meski DK PBB telah memutuskan gencatan senjata selama 30 hari. ( AFP PHOTO/ABDULMONAM EASSA)



Jakarta, CB -- Serangan udara dan bentrokan baru melanda daerah kekuasaan pemberontak Suriah di Ghouta Timur. Serangan ini terjadi meski Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) telah mengesahkan gencatan senjata selama 30 hari sebagai upaya mengakhiri salah satu serangan terganas perang sipil Suriah, Minggu (25/2).

Jet-jet tempur Presiden Bashar al-Assad menggempur Ghouta Timur, daerah terkepung di pinggiran Damaskus. Sekitar 500 orang telah terbunuh sejak serangan dimulai seminggu lalu.

Setelah serangkaian perdebatan, DK PBB mengajukan 30 hari gencatan senjata "tanpa penundaan" di Suriah. Dengan gencatan senjata senjata tersebut diharapkan pengiriman bantuan dan evakuasi medis dapat berjalan lancar.


Keputusan DK PBB tersebut memberi harapan untuk menghentikan pertumpahan darah. Meski begitu, masih belum jelas kapan dan seluas apa gencatan senjata tersebut dapat dilakukan.

Lewat pembicaraan telepon, Minggu (25/2) Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Perancis Emmanuel Macron mendesak Presiden Vladimir Putin untuk membantu tercapainya gencatan senjata.


Serangan di Ghouta Timur berlangsung sejak pekan lalu.
Foto: (AFP/ ABDULMONAM EASSA)
Serangan di Ghouta Timur berlangsung sejak pekan lalu.


Mereka meminta Rusia "untuk mendesak rezim Suriah segera menghentikan serangan udara dan pertempuran". Rusia merupakan sekutu penting dari rezim Assad.

Pertempuran Darat Lebih Parah

Aktivis Obsevatorium Hak Asasi Manusia Suriah menyatakan setidaknya 14 warga sipil termasuk tiga anak-anak tewas akibat serangan pada Minggu (25/2).

Hingga total korban jiwa mencapai 530 orang, 130 diantaranya anak-anak. Kelompok berbasis Inggris tersebut mengklaim mempunyai jaringan sumber di seluruh Suriah untuk pemantauan konflik.

Serangan lain yang diduga menggunakan zat kimia pada Sabtu (24/2) menyebabkan seorang anak meninggal dan setidaknya 13 lainnya menderita kesulitan bernapas.

Aktivis menyebut insiden tersebut merupakan serangan dari rezim. Namun Kementerian Pertahanan Rusia membantah kabar tersebut.

"Pemimpin dari kelompok-kelompok bersenjata melakukan provokasi dengan zat beracun lalu menuduh rezim sebagai pengguna senjata kimia," demikian pernyataan Kementerian Pertahanan Rusia seperti dilansir Channel News Asia, Senin (26/2).



Seorang relawan lembaga aktivis kemanusiaan Inggris Save the Children bercerita tentang keadaan saat pengeboman sempat berhenti sejenak. Setelah seminggu, penduduk terdorong keluar dari perlindungan bawah tanah. "Beberapa orang menghabiskan tujuh hari silam duduk di lantai. Beberapa orang tidak memiliki makanan untuk dua sampai tiga hari," kata relawan yang tidak mau disebut namanya itu.

Ketua Syrian Observatory, Rami Abdel Rahman mengatakan serangan udara mulai berkurang, tetapi pertempuran di darat meningkat. Bentrokan besar yang meledak di selatan wilayah Ghouta timur telah menewaskan setidaknya 13 anggota pasukan pro-rezim dan enam pemberontak Jaish al-Islam.

Ghouta Timur berpenduduk 400,000 orang. Penduduknya enggan atau tidak dapat melarikan diri. Dua kelompok pemberontak yang menguasai daerah kantong tersebut, Jaish al-Islam dan Faylaq al-Rahman, menyambut keputusan DK PBB tetapi bersumpah akan melawan jika terjadi serangan baru.

Diplomat PBB mengatakan resolusi tersebut telah dibuat sedemikian rupa agar Rusia tidak melarang. Rusia adalah penunjang utama diplomasi dan militer rezim Assad. Bahasa yang digunakan diganti, istilah "segera" yang merujuk kepada pengiriman bantuan dan evakuasi dihilangkan. Gencatan senjata dimulai 72 jam setelah adaptasi.


Para korban serangan menanti perawatan.
Foto: REUTERS/Bassam Khabieh
Para korban serangan menanti perawatan.

Gencatan senjata tidak akan berlaku pada operasi melawan kelompok Negara Islam atau Al-Qaeda, juga "individu, kelompok, anak buah dan entitas" yang berhubungan dengan mereka.
Kepala tentara Iran, kunci lain dari sekutu Assad, mengatakan militer Suriah akan terus melawan "kelompok teroris" di Ghouta Timur.

Rezim Assad dan para sekutunya secara konsisten menggambarkan semua kekuatan oposisi sebagai "teroris".

Dikutip dari kantor berita resmi IRNA Mohammad Bagheri berkata, "Wilayah sekeliling Damaskus... tidak terpengaruh gencatan senjata maka operasi serangan dan pembersihan oleh tentara Suriah akan tetap berlanjut".

Kepala PBB Antonio Guterres berkata gencatan senjata harus "segera" diimplementasikan. Dia menggambarkan situasi pengeboman Ghouta timur sebagai "neraka di bumi".

Terbiasa dengan Pengkhianatan
Adapun di Ghouta Timur yang tertutup, berita tentang keputusan DK PPB berdampak sangat kecil.

"Sepertinya keputusan ini tidak akan diimplementasikan. Rezim maupun Rusia tidak akan menghargainya. Kami tidak percaya pada Rusia atau rezim. Kami terbiasa dengan pengkhianatan." kata seorang penduduk Douma, Abu Mazen.

Pemberontak di Ghouta Timur juga menembaki masuk ke Damaskus. Menurut media pemerintah, sekitar 20 orang terbunuh di kawasan timur ibu kota sejak 18 Februari.

Dina Sulaeman, Direktur Indonesia Center for Middle East Studies, lewat laman Facebooknya menyatakan ada pihak-pihak yang menginginkan Suriah pecah. Pihak-pihak tersebut mengabarkan laporan yang menyesatkan.

"Perang di Ghouta Timur sebenarnya skenario yang sama persis seperti di Aleppo," kata Dina di laman Facebook-nya.

Menurut dia, di Ghouta Timur banyak kelompok yang mengaku mujahidin. Sebagian berafiliasi dengan Al Qaidah, sebagian dengan Ikhwanul Muslimin. Yang berafiliasi dengan Al Qaidah, sudah dinyatakan PBB sebagai teroris. Adapun yang berafiliasi dengan Al Ikhwan, media dan politisi Barat menyebutnya sebagai "pemberontak moderat".

Orang-orang tersebut, menurut Dina, menahan warga sipil Ghouta Timur untuk dijadikan tameng. "Sebagian dikurung di kandang dan diarak keliling kota bagai binatang. Di saat yagn sama mereka membombardir Damaskus hampir setiap hari," kata Dina.

Perang Suriah telah memakan korban lebih dari 340,000 jiwa dan jutaan lainnya terusir dari rumah. Bulan depan perang Suriah memasuki tahun ke delapannya tanpa ada solusi diplomasi yang terlihat.





Credit  cnnindonesia.com