LONDON
- Mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair menyesal pernah Israel
dan Amerika Serikat (AS) untuk memboikot Hamas usai menang pemilu
Palestina tahun 2006.
Blair mengaku salah atas kebijakannya yang bergabung dengan pemerintah George W Bush untuk memusuhi faksi Palestina yang pernah perang hebat dengan Israel tahun 2014 lalu itu.
”Kami salah memboikot Hamas setelah memenangi pemilunya,” kata Blair dalam sebuah wawancara yang dilaporkan di The Guardian, yang dikutip Senin (16/10/2017).
Mantan pemimpin Inggris ini sekarang menyadari bahwa saat itu mungkin merupakan ide yang lebih baik bagi masyarakat internasional untuk masuk ke dalam kerangka dialog dengan Hamas.
Tapi, lanjut dia, pemerintahannya kala itu justru mendukung keputusan Bush untuk memotong bantuan dan hubungan dengan Otoritas Palestina (PA) yang dipimpinan Hamas sebagai pemenang pemilu 2006.
Hamas kala itu diultimatum untuk mengakui Israel, meninggalkan kekerasan dan berjanji untuk melanjutkan kesepakatan yang dibuat antara pendahulunya, Fatah, dan Israel. Jika tidak, maka akan menghadapi blokade bantuan.
Tak hanya dengan Israel, Blair waktu itu bergabung dengan seluruh kuartet yang terdiri dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, Rusia dan AS, yang kemudian menjatuhkan sanksi serta memotong bantuan ke PA.
Kelompok pemboikot itu pada akhirnya melanjutkan lagi hubungannya dengan PA setelah terpecah pada 2007 menyusul konflik antara Fatah dan Hamas. Perpecahan tersebut membuat Hamas hanya berkuasa di Jalur Gaza.
”Kalau dipikir ulang, saya pikir seharusnya, sejak awal, mencoba menarik (Hamas) ke dalam sebuah dialog dan menggeser posisi mereka,” kata Blair. ”Saya pikir di situlah saya akan melakukan retrospeksi,” aku Tony Blair.
”Tapi yang jelas itu sangat sulit, orang-orang Israel sangat menentangnya,” ujarnya. ”Tapi Anda tahu mungkin kita bisa melakukan suatu cara di mana kita melakukannya, yang sebenarnya akhirnya kita lakukan juga, secara informal,” imbuh Blair.
Komentar Blair dibuat dalam sebuah wawancara untuk sebuah buku baru berjudul; ”Gaza: Preparing for Dawn”.
Blair mengaku salah atas kebijakannya yang bergabung dengan pemerintah George W Bush untuk memusuhi faksi Palestina yang pernah perang hebat dengan Israel tahun 2014 lalu itu.
”Kami salah memboikot Hamas setelah memenangi pemilunya,” kata Blair dalam sebuah wawancara yang dilaporkan di The Guardian, yang dikutip Senin (16/10/2017).
Mantan pemimpin Inggris ini sekarang menyadari bahwa saat itu mungkin merupakan ide yang lebih baik bagi masyarakat internasional untuk masuk ke dalam kerangka dialog dengan Hamas.
Tapi, lanjut dia, pemerintahannya kala itu justru mendukung keputusan Bush untuk memotong bantuan dan hubungan dengan Otoritas Palestina (PA) yang dipimpinan Hamas sebagai pemenang pemilu 2006.
Hamas kala itu diultimatum untuk mengakui Israel, meninggalkan kekerasan dan berjanji untuk melanjutkan kesepakatan yang dibuat antara pendahulunya, Fatah, dan Israel. Jika tidak, maka akan menghadapi blokade bantuan.
Tak hanya dengan Israel, Blair waktu itu bergabung dengan seluruh kuartet yang terdiri dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, Rusia dan AS, yang kemudian menjatuhkan sanksi serta memotong bantuan ke PA.
Kelompok pemboikot itu pada akhirnya melanjutkan lagi hubungannya dengan PA setelah terpecah pada 2007 menyusul konflik antara Fatah dan Hamas. Perpecahan tersebut membuat Hamas hanya berkuasa di Jalur Gaza.
”Kalau dipikir ulang, saya pikir seharusnya, sejak awal, mencoba menarik (Hamas) ke dalam sebuah dialog dan menggeser posisi mereka,” kata Blair. ”Saya pikir di situlah saya akan melakukan retrospeksi,” aku Tony Blair.
”Tapi yang jelas itu sangat sulit, orang-orang Israel sangat menentangnya,” ujarnya. ”Tapi Anda tahu mungkin kita bisa melakukan suatu cara di mana kita melakukannya, yang sebenarnya akhirnya kita lakukan juga, secara informal,” imbuh Blair.
Komentar Blair dibuat dalam sebuah wawancara untuk sebuah buku baru berjudul; ”Gaza: Preparing for Dawn”.
Buku ini menampilkan paparan Department for International Development selama beberapa menit dari peringatan tahun 2006 tentang bahaya mengabaikan Hamas. Paparan ini merinci bagaimana akan menjadi tantangan bagi Hamas untuk mengubah sikapnya terhadap Israel dalam jangka pendek, meskipun kedua belah pihak telah bekerja sama di tingkat kota.
”Pada akhirnya, partisipasi Hamas dalam realitas tanggung jawab politik dapat membawa perubahan Hamas ke organisasi politik dan bukan teroris,” bunyi dokumen dalam paparan tersebut.
Buku itu juga berisi komentar kepala staf Blair, Jonathan Powell, yang menggambarkan strategi terhadap Hamas sebagai ”kesalahan besar”. Powell menjelaskan bahwa bernegosiasi dengan Hamas dan Fatah menghasilkan dua kali lipat dari negosiasi dan konsesi yang dibuat.
Komentar Blair dipublikasikan saat Hamas dan Fatah telah sepakat berekonsiliasi pekan lalu di Kairo. Rekonsiliasi ini akan membuat PA melanjutkan kontrol atas Jalur Gaza pada bulan Desember mencabut pembatasan listrik di wilayah Jalur Gaza.
Rekonsiliasi itu ditentang keras oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.”Rekonsiliasi di mana organisasi teroris Hamas tidak melucuti senjata dan mengakhiri perangnya untuk menghancurkan Israel,” katanya.
Credit sindonews.com