NEW YORK
- Inggris telah menyebarkan rancangan resolusi PBB yang akan mengutuk
aksi kekerasan yang telah mengirim lebih dari 600.000 Muslim Rohingya
yang melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh. PBB juga akan meminta
pemerintah Myanmar untuk segera menghentikan operasi militer di negara
bagian Rakhine.
Jika diadopsi oleh Dewan Keamanan, resolusi tersebut akan menjadi yang pertama bagi Myanmar setelah bertahun-tahun. Namun para diplomat mengatakan hal ini menghadapi tentangan dari China, tetangga dan sekutu negara yang sebelumnya dikenal sebagai Burma yang bergeser dari pemerintahan militer selama puluhan tahun ke arah demokrasi.
Draft tersebut juga mengecam serangan pemberontak Rohingya pada 25 Agustus yang memicu aksi kekerasan tersebut.
Tapi fokusnya adalah pada situasi sulit orang Rohingya di Myanmar dan di Bangladesh, yang telah dipuji karena respon kemanusiaannya.
Resolusi yang diusulkan tersebut mengungkapkan keprihatinan serius pada laporan bahwa pasukan keamanan dan tentara Myanmar telah menggunakan kekuatan yang tidak proporsional, penghancuran properti dan kekerasan seksual yang sistematis terhadap komunitas Rohingya di Rakhine.
Orang Rohingya menghadapi diskriminasi resmi dan sosial di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Pemerintah Myanmar tidak mengenal Rohingya sebagai kelompok etnis, namun bersikeras bahwa mereka adalah migran Bengali dari Bangladesh yang tinggal secara ilegal di negara tersebut. Oleh karena hal tersebut Thailand telah menolak kewarganegaraan mereka.
Kekerasan terbaru dimulai dengan serangkaian serangan 25 Agustus oleh gerilyawan Rohingya. Pasukan keamanan Myanmar menanggapi dengan kampanye bumi yang hangus melawan desa Rohingya di Rakhine utara yang oleh PBB dan kelompok hak asasi manusia telah dikritik sebagai tindakan yang tidak proporsional dan kampanye pembersihan etnis.
Rancangan resolusi tersebut meminta pemerintah Myanmar untuk mengatasi akar penyebab krisis dengan menghormati hak asasi manusia. "Tanpa diskriminasi dan terlepas dari etnisitas atau afiliasi keagamaan, termasuk dengan membiarkan kebebasan bergerak, akses yang setara terhadap layanan dasar dan akses yang setara terhadap kewarganegaraan penuh untuk orang-orang yang tergabung dalam komunitas Rohingya," bunyi rancangan resolusi itu seperti dikutip dari Washington Post, Kamis (26/10/2017).
Penyelidik independen PBB mengenai hak asasi manusia di Myanmar, Yanghee Lee, mengatakan kepada komite hak asasi manusia Majelis Umum sementara militer Myanmar mengendalikan keamanan dan hukum nasional dan ketertiban, ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah sipil, yaitu dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.
Lee mengatakan ini harus dimulai dengan pesan publik yang mencakup seluruh susunan populasi Myanmar. "Pemerintah harus menggunakan mayoritas di parlemen untuk menjatuhkan undang-undang yang mendiskriminasikan untuk menunjukkan bahwa semua kelompok di Myanmar memiliki hak yang sama," katanya.
Rancangan resolusi tersebut menyambut baik komitmen publik Myanmar bahwa mereka akan menerima kembalinya semua warga dan pengungsi dan meminta pemerintahnya untuk bekerja sama dengan Bangladesh dan PBB untuk mempercepat kembalinya sukarela dan aman semua pengungsi ke rumah mereka di Myanmar.
Jika diadopsi oleh Dewan Keamanan, resolusi tersebut akan menjadi yang pertama bagi Myanmar setelah bertahun-tahun. Namun para diplomat mengatakan hal ini menghadapi tentangan dari China, tetangga dan sekutu negara yang sebelumnya dikenal sebagai Burma yang bergeser dari pemerintahan militer selama puluhan tahun ke arah demokrasi.
Draft tersebut juga mengecam serangan pemberontak Rohingya pada 25 Agustus yang memicu aksi kekerasan tersebut.
Tapi fokusnya adalah pada situasi sulit orang Rohingya di Myanmar dan di Bangladesh, yang telah dipuji karena respon kemanusiaannya.
Resolusi yang diusulkan tersebut mengungkapkan keprihatinan serius pada laporan bahwa pasukan keamanan dan tentara Myanmar telah menggunakan kekuatan yang tidak proporsional, penghancuran properti dan kekerasan seksual yang sistematis terhadap komunitas Rohingya di Rakhine.
Orang Rohingya menghadapi diskriminasi resmi dan sosial di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Pemerintah Myanmar tidak mengenal Rohingya sebagai kelompok etnis, namun bersikeras bahwa mereka adalah migran Bengali dari Bangladesh yang tinggal secara ilegal di negara tersebut. Oleh karena hal tersebut Thailand telah menolak kewarganegaraan mereka.
Kekerasan terbaru dimulai dengan serangkaian serangan 25 Agustus oleh gerilyawan Rohingya. Pasukan keamanan Myanmar menanggapi dengan kampanye bumi yang hangus melawan desa Rohingya di Rakhine utara yang oleh PBB dan kelompok hak asasi manusia telah dikritik sebagai tindakan yang tidak proporsional dan kampanye pembersihan etnis.
Rancangan resolusi tersebut meminta pemerintah Myanmar untuk mengatasi akar penyebab krisis dengan menghormati hak asasi manusia. "Tanpa diskriminasi dan terlepas dari etnisitas atau afiliasi keagamaan, termasuk dengan membiarkan kebebasan bergerak, akses yang setara terhadap layanan dasar dan akses yang setara terhadap kewarganegaraan penuh untuk orang-orang yang tergabung dalam komunitas Rohingya," bunyi rancangan resolusi itu seperti dikutip dari Washington Post, Kamis (26/10/2017).
Penyelidik independen PBB mengenai hak asasi manusia di Myanmar, Yanghee Lee, mengatakan kepada komite hak asasi manusia Majelis Umum sementara militer Myanmar mengendalikan keamanan dan hukum nasional dan ketertiban, ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah sipil, yaitu dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.
Lee mengatakan ini harus dimulai dengan pesan publik yang mencakup seluruh susunan populasi Myanmar. "Pemerintah harus menggunakan mayoritas di parlemen untuk menjatuhkan undang-undang yang mendiskriminasikan untuk menunjukkan bahwa semua kelompok di Myanmar memiliki hak yang sama," katanya.
Rancangan resolusi tersebut menyambut baik komitmen publik Myanmar bahwa mereka akan menerima kembalinya semua warga dan pengungsi dan meminta pemerintahnya untuk bekerja sama dengan Bangladesh dan PBB untuk mempercepat kembalinya sukarela dan aman semua pengungsi ke rumah mereka di Myanmar.
Namun Lee mengatakan bahwa dia khawatir bahwa hanya sebagian kecil pengungsi di Bangladesh akan diizinkan kembali.
"Populasi Rohingya di Cox's Bazar - yang persediaan makanan mereka diblokir dan kelaparan, tertembak saat melarikan diri, berjalan selama berminggu-minggu untuk mendapatkan keselamatan, kehilangan anggota keluarga dalam perjalanan untuk mengungsi, dan sekarang tinggal di di bawah lembaran plastik - harus tidak dibuat untuk memenuhi persyaratan ketat jika mereka ingin kembali ke Myanmar, "katanya.
Lee juga mengatakan bahwa "tidak beralasan dan tidak dapat diterima" bahwa pemerintah bersikeras bahwa badan pengungsi PBB dan Organisasi Migrasi Internasional dikeluarkan dari diskusi tentang pemulangan Rohingya.
Resolusi yang diusulkan tersebut mengungkapkan keprihatinan mendalam pada akses kemanusiaan yang sangat terbatas ke Rakhine. Resolusi ini lantas meminta pemerintah Myanmar untuk memberikan akses segera, aman dan tidak terhalang ke Badan PBB, mitra mereka dan kelompok bantuan lainnya.
Resolusi ini mendesak pemerintah Thailand untuk memberikan "akses tak terbatas" ke misi pencari fakta Hak Asasi Manusia PBB. Resolusi ini pun menyerukan penyelidikan cepat dan transparan atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran.
Rancangan tersebut menyambut baik komitmen pemerintah untuk menerapkan rekomendasi komisi yang dipimpin oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan yang menyerukan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial untuk melawan kekerasan mematikan tersebut. Resolus ini juga mendesak semua bagian pemerintah untuk menerapkan rekomendasi tersebut "dengan cepat dan penuh."
Credit sindonews.com
Inggris Ajukan Draf Resolusi DK PBB Kecam Persekusi Rohingya
Draf atau rancangan resolusi tersebut telah dikirim ke anggota Dewan Keamanan PBB pada Rabu (25/10). Resolusi yang diajukan Inggris menyatakan keprihatinan serius terkait laporan atau kesaksian yang menyatakan bahwa pasukan keamanan dan tentara Myanmar telah mengerahkan kekuatan yang tidak proporsional, menghancurkan permukiman Rohingya, serta melakukan kekerasan seksual terhadap para perempuan Rohingya.
Dalam draf tersebut Inggris pun mengecam serangan yang dilakukan gerilyawan Rohingya pada 25 Agustus yang mengakibatkan terjadinya operasi militer di Rakhine. Kendati demikian, Inggris tetap menuntut Myanmar sebagai pihak yang harus segera menyelesaikan krisis di Rakhine.
Penyelesaian akar penyebab krisis ini harus dilakukan dengan menghormati hak asasi manusia, tanpa diskriminasi, dan bebas dari bias etnisitas atau afiliasi keagamaan. "Termasuk membiarkan kebebasan bergerak, akses yang setara terhadap layanan dasar, dan akses yang setara terhadap kewarganegaraan penuh untuk orang-orang yang tergabung dalam komunitas Rohingya," tulis Inggris dalam draf resolusinya, seperti dikutip laman Washington Post.
Jika draf resolusi diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB, ini akan menjadi yang perdana dalam krisis bertahun-tahun di Myanmar. Namun para diplomat di Dewan Keamanan mengatakan, draf resolusi ini akan mendapatkan penentangan dari Cina. Kendati demikian, mereka tak menerangkan lebih terperinci perihal penentangan dimaksud.
Lebih dari 600 ribu etnis Rohingya telah meninggalkan Rakhine, Myanmar, menuju Bangladesh. Mereka mengungsi guna menghindari operasi militer Myanmar di desa-desanya, yang menurut pengakuan mereka, sangat brutal.
Militer Myanmar disebut tak segan untuk memberondong penduduk dengan tembakan dan kemudian membumihanguskan permukiman mereka. Kini ratusan ribu pengungsi Rohingya hidup di kamp dan tenda-tenda pengungsi di zona perbatasan Bangladesh. Mereka hanya mengandalkan bantuan kemanusiaan dari dunia internasional untuk bertahan hidup.
Credit REPUBLIKA.CO.ID