Selasa, 31 Oktober 2017

Indonesia Bakal Produksi Alat Detektor Sinyal Nuklir



Indonesia Bakal Produksi Alat Detektor Sinyal Nuklir
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bappeten). Logo/IST



JAKARTA - Konsorsium dalam negeri akan memproduksi alat detektor sinyal nuklir atau Radiology Delta Monitoring System (RDMS). Rencananya konsorsium tersebut akan mulai memproduksi RDMS tahun depan.

"Ada konsorsium yang akan membuat RDMS untuk mengurangi impor. Jadi (alat ini) akan diproduksi di dalam negeri," ujar Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Jazi Eko Istianto, saat tampil sebagai pembicara pada Penganugerahan Bapeten Safety and Security Award 2017 di Jakarta, akhir pekan lalu.

Jazi mengungkapkan, konsorsium tersebut terdiri atas Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), PT LEN Industri, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat ini, kata Jazi, konsorsium tersebut sedang melakukan uji coba pembuatan RDMS.

Selama ini, pengadaan RDMS masih bergantung impor dari Eropa. Apabila uji coba tersebut berhasil, kata Jazi, impor RDMS akan dihentikan. "Kalau berhasil, akan kita produksi massal. Saat ini prototipenya sudah selesai, tapi belum tahu apakah bisa langsung diproduksi atau enggak," ungkap Jazi.

Jazi mengatakan, saat ini Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan mengkaji anggaran untuk proteksi nuklir sehingga saat ini pengadaan impor tidak terlalu membebani Bapeten. "Bappenas memasukkan program kita soal peningkatan infrastruktur keamanan nuklir masuk di anggaran," kata Jazi.

Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Perizinan dan Inspeksi Bapeten Khoirul Huda mengatakan, Indonesia membutuhkan 126 sinyal proteksi nuklir. Saat ini RDMS baru terpasang enam pemancar di Indonesia. "Sekarang ini baru ada enam di Pulau Jawa," katanya.

Khoirul menyebutkan, RDMS yang dipasang kebanyakan produk impor dari Eropa. Bapeten mengusahakan pengadaan alat setiap tahun tergantung dari anggaran yang ada. "Impor dari Eropa kebanyakan RDMS. Kita usahakan setiap tahun," ungkap Khoirul.

Khoirul mengatakan tentang perlunya partisipasi masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan terhadap penggunaan atau pemanfaatan energi nuklir. "Dalam hal penyelenggaraan perizinan, kami sudah menerapkan perizinan secara online sehingga lebih mudah bagi pengguna, lebih transparan, akuntabel, dan tentunya prosesnya lebih cepat," tutur Khoirul.




Credit  sindonews.com



Indonesia dalam Ancaman Radiasi Nuklir


Indonesia dalam Ancaman Radiasi Nuklir
Ilustrasi Bendera Merah Putih. Foto/SINDOphoto/Dok


JAKARTA - Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) menilai ancaman keamanan Indonesia terhadap masuknya potensi radiasi nuklir sangat besar. Apalagi sampai saat ini dari 172 pelabuhan pintu masuk di Indonesia, hanya ada enam radiation portal monitor (RPM) yang dimiliki negara ini.

Enam RPM itu ada di Pelabuhan Bitung (Sulawesi Utara), Soekarno Hatta (Makassar), Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Batu Ampar (Batam), dan Tanjung Emas (Semarang).

Menurut Kepala Bapeten Jazi Eko Istiyanto, kebutuhan memiliki RPM sangat mendesak. Di tengah ancaman terorisme yang menguat, maka Indonesia membutuhkan peningkatan keamanan terhadap potensi penggunaan nuklir untuk terorisme.

“Ancaman nuklir itu nyata,” kata Jazi dalam Konferensi Informasi Pengawasan (Korinwas) keamanan nuklir nasional di Jakarta, kemarin.

Salah satu contoh nyata ancaman radiasi nuklir adalah kejadian bom di Bandung baru-baru ini. Dalam kasus itu, menurut Jazi, pelaku memanfaatkan kaos lampu petromax yang mengandung zat radioaktif thorium.

"Sebenarnya kadarnya kecil, namun ini menjadi kewaspadaan juga. Karena mereka pasti belajar," katanya.

Oleh karena itulah, menurut Jazi, dengan demikian infrastruktur keamanan nuklir nasional perlu dibangun, antara lain dengan peraturan perundang-undangan dan koordinasi dan kerja sama antar institusi pemerintah terkait.

Selain itu juga perlu kerja sama regional maupun internasional, peralatan dan fasilitas, sumber daya manusia untuk upaya pencegahan, serta deteksi dan penanggulangan.

Jazi menambahkan, untuk meningkatkan keamanan dari potensi bahaya radiasi nuklir, Presiden Joko Widodo juga sudah meminta agar ada pemasangan RPM di seluruh pintu masuk ke NKRI.

Selain peningkatan infrastruktur keamanan, Indonesia juga membutuhkan program peningkatan kemampuan dan kompetensi SDM dibidang keamanan nuklir, serta pertukaran data dan informasi dalam bidang keamanan nuklir.

Deputi Perizinan dan Inspeksi Bapeten Khoirul Huda menambahkan, dalam kasus bom petromax di Bandung, pemerintah sudah melakukan pembatasan produksi kaos lampu petromax.

"Kebutuhan petromax juga makin kecil," katanya.

Dia juga menyebutkan, perlu ada kajian yang lebih dalam apakah dalam kasus tersebut, pelaku memang sengaja membuat bom dengan memanfaatkan potensi radiasi atau ketidaksengajaan. 

Untuk menekan potensi penyalahgunaan materi radioaktif, menurut Khoirul, memang pemerintah perlu segera memasang RPM di seluruh pintu masuk NKRI.

Bahkan ke depan, pemasangan RPM juga perlu dilakukan di pintu keluar. Sebab, banyak negara yang sudah mewajibkan barang yang di impor melewati RPM terlebih dahulu sebelum masuk ke negaranya.



Credit  sindonews.com