Selasa, 31 Oktober 2017

Kamp ditutup, Australia harus bertanggung jawab atas ratusan pencari suaka


Kamp ditutup, Australia harus bertanggung jawab atas ratusan pencari suaka
Ilustrasi kamp pengungsi. (REUTERS/Pascal Rossignol)



Sydney (CB) - Australia tidak diizinkan meninggalkan tanggung jawab hukum, keuangan dan moral bagi hampir 800 orang ketika menutup pusat penahanan pencari suaka di Papua Nugini pada Selasa, kata menteri imigrasi Papua Nugini.

Pembela hak asasi manusia memperingatkan akan bencana kemanusiaan, yang tampak, saat pusat penampungan pulau Manus ditutup jika kelompok tersebut tidak dimukimkan dengan baik, dengan ratusan tahanan menolak meninggalkan tempat itu karena takut menjadi sasaran penduduk setempat.

Menteri Imigrasi Papua Nugini Petrus Thomas mengatakan pada Minggu malam bahwa Australia akan tetap bertanggung jawab atas kesejahteraan kelompok itu, yang ditahan di pusat didanai Australia tersebut lebih dari empat tahun.

Australia menolak mengizinkan pencari suaka tiba dengan kapal untuk mencapai pantai negaranya, menahan mereka di kamp di Papua Nugini dan Nauru di Pasifik Selatan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok hak asasi manusia telah bertahun-tahun menyebutkan pelanggaran hak asasi manusia di antara para tahanan yang terjadi di pusat-pusat penahanan tersebut.

"Ini adalah keadaan Papua Nugini bahwa selama ada satu individu dari pengaturan ini yang tetap berada di Papua Nugini, Australia akan terus memberikan dukungan finansial dan dukungan lainnya kepada Papua Nugini untuk mengelola orang-orang yang dipindahkan di bawah pengaturan, sampai orang terakhir pergi atau dimukimkan secara mandiri di Papua Nugini," kata Thomas dalam pernyataan dalam surat elektronik.

Australia telah mengatakan akan menghabiskan hingga 250 juta dolar Australia untuk menampung hampir 800 pengungsi dan para pencari suaka di Papua Nugini selama 12 bulan berikutnya, setelah menutup pusat penahanan kontroversialnya.

Pusat penahanan Manus dijadwalkan ditutup pada Selasa, setelah dinyatakan ilegal oleh pengadilan Papua Nugini, dengan 600 pria yang telah ditetapkan untuk pindah ke tiga kamp transit baru. Namun hanya di bawah 200 pria yang telah dipindahkan.

Meskipun ada ancaman bahwa layanan dasar seperti listrik dan air akan terputus, tahanan yang tersisa menolak untuk pindah, dengan alasan kekhawatiran akan keselamatan mereka. Kekhawatiran akan kekerasan semakin parah setelah Papua Nugini mengirim pasukan keamanan ekstra ke kamp tersebut.

Pemindahan pria di tahanan tersebut dirancang sebagai tindakan sementara, yang memungkinkan Amerika Serikat untuk menyelesaikan pemeriksaan pengungsi sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran pengungsi.

Australia mengatakan bahwa tahanan yang tidak dimukimkan kembali di Amerika Serikat akan diizinkan tinggal di Papua Nugini atau pulau kecil Nauru di Pasifik. Tapi, hampir semua pencari suaka menolak undangan menetap di kedua tempat itu. 




Credit  antaranews.com



Pencari Suaka Tolak Penutupan Pusat Detensi Papua Nugini


Pencari Suaka Tolak Penutupan Pusat Detensi Papua Nugini
Ilustrasi pencari suaka di Manus Island Center. (AAP/Eoin Blackwell/via REUTERS)


Jakarta, CB -- Ratusan pengungsi dan pencari suaka membarikade sebuah pusat detensi di Papua Nugini pada Selasa (31/10) untuk menolak upaya otoritas setempat dan Australia menutup fasilitas tersebut.

Para pemerhati hak asasi manusia memperingatkan risiko krisis kemanusiaan yang kemungkinan besar terjadi antara para penghuni pusat detensi Manus Island Centre dan pihak berwenang, sementara waktu tenggat penutupan kamp yang didanai Australia itu tiba hari ini.

Menyoroti kekhawatiran soal penolakan masyarakat lokal, pengacara sekitar 600 orang yang menolak direlokasi ke tiga fasilitas lain di Papua Nugini itu mengajukan gugatan di menit-menit terakhir untuk mencegah penutupan kamp dan relokasi para penghuninya ke negara ketiga.


Pusat detensi Manus selama ini menjadi titik kunci dalam kebijakan imigrasi kontroversial "Perbatasan Berdaulat" Australia. Negara tersebut menolak pencari suaka yang tiba menggunakan kapal, menahan mereka di sejumlah kamp Papua Nugini, Nauru dan Pasifik Selatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pegiat HAM sudah bertahun-tahun menyoroti masalah pelanggaran hak yang menimpa para penghuni tempat itu.

Nick McKim, senator Partai Hijau Australia yang berada di Manus, mengatakan otoritas berulang kali mematikan listrik di gedung tersebut semalam untuk membujuk para penghuninya agar mau pergi.

Para pejabat Papua Nugini juga memberi pemberi tahuan di kamp pada Selasa, memperingatkan bahwa listrik dan pasokan air akan dimatikan pada 17.00 waktu setempat, sementara makanan pun tak dikirim lagi ke lokasi tersebut.


Papua Nugini juga mengerahkan pasukan paramiliter untuk memantau proses penutupan.

"Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia," kata McKim kepada radio Australian Broadcasting Corp sebagaimana dikutip Reuters. "Mereka masih menjadi tanggung jawab Australia dan PBB telah berulang kali mengonfirmasinya."

Mahkamah Agung Papua Nugini pada tahun lalu memutuskan bahwa pusat Detensi Manus yang pertama kali dibuka pada 2001 silam beroperasi secara ilegal. Ditutup antara 2008 hingga 2011, fasilitas ini dibuka pada 2012 menyusul peningkatan jumlah pengungsi yang pada puncaknya mencapai lebih dari 20.500 orang di 2013. Dua tahun kemudian, pemerintah Australia menyatakan sudah tidak ada lagi kapal yang masuk.

Menteri Imigrasi Papua Nugini Petrus Thomas memeringatkan bahwa pihak Australia tidak bisa begitu saja mengabaikan tanggung jawab hukum, finansial dan moral atas para pengungsi.


Australia telah menyatakan akan menganggarkan lebih dari A$250 juta untuk memberi mereka tempat tinggal hingga setahun ke depan. Tidak sampai 200 orang yang sudah dipindahkan hingga saat ini.

Relokasi para pengungsi yang seluruhnya laki-laki itu merupaka langkah sementara untuk memberi Amerika Serikat waktu mengolah proses penerimaanpara pengungsi di bawah perjanjian pertukaran dengan Australia.

AS telah menyatakan akan membawa hingga 1.250 pengungsi dari dua pusat detensi yang berada di Pasifik, tapi sejauh ini hanya 25 orang yang telah diberi tempat pemukiman kembali. Sebagai imbalannya, Australia menyatakan akan menerima para pengungsi dari Amerika Tengah.

Sementara itu, Australia menyatakan para pengungsi yang tidak direlokasi ke AS akan diperbolehkan untuk tinggal di Papua Nugini atau Nauru. Namun, hampir semuanya menolak undangan untuk menetap secara permanen di kedua lokasi. Thomas mengatakan Papua Nugini tidak akan memaksa siapapun untuk tetap tinggal.

Aliran pengungsi tersebut selama ini berasal dari negara-negara yang dilanda perang seperti Suriah dan Afghanistan, juga Pakistan, Iran, Sri Lanka dan Myanmar.






Credit  cnnindonesia.com