CB, Jakarta - Senin Kemarin, Perdana Menteri Jacinda Ardern berjanji akan mengumumkan perubahan UU Kepemilikan Senjata Api Selandia Baru dalam beberapa hari ke depan, pasca-penembakan di Christchurch.
"Dalam waktu 10 hari ke depan setelah aksi terorisme mengerikan ini, kami akan mengumumkan reformasi peraturan, yang saya yakini, akan membuat masyarakat kita lebih aman," kata Ardern, dikutip dari Public Radio International, 20 Maret 2019.
Menurut UU Senjata Api Selandia Baru saat ini, senjata api kategori A termasuk senjata semi-otomatis namun dibatasi hingga tujuh peluru. Namun, senjata yang dipakai pelaku penembakan masjid adalah senapan dengan magazin peluru kapasitas besar.
Sejauh ini, Ardern tidak memberikan rincian terkait UU senjata api
yang baru, meski dia menyatakan mendukung larangan senjata api
semi-otomatis.
"Di Selandia Baru, kepemilikan senjata adalah hak legal istimewa, namun bukan hak hukum," tutur Alexander Gillespie, profesor hukum di University of Waikato Selandia Baru.
"Jadi ini berarti perdana menteri bisa bertindak lebih cepat daripada apa yang terjadi, katakanlah, di Amerika Serikat," sambungnya.
Senjata mesin dan shootgun yang digunakan penembakan masjid di Selandia Baru di Christchurch, 15 Maret 2019. Penembakan massal pertama terjadi di masjid Masjid Al Noor di Christchurch. Social Media Website/Handout via REUTERS TV
Namun, ada lobi hukum yang kuat dari para pemburu di Selandia baru dan pendukung kepemilikan senjata api, yang mengatakan masalahnya bukan pada senjata tetapi pemiliknya, kata Gillespie.
Sementara distributor senjata api Whanganui khawatir, reaksi spontan terhadap penembakan di masjid hanya membuat polisi Selandia Baru dan orang jahat yang memiliki senjata api semi-otomatis.
Senjata yang digunakan pelaku penembakan di Christchurch adalah peluru tajam dari senapan serbu AR-15, senapan semi-otomatis yang dapat dimodifikasi untuk 30 butir amunisi dari tujuh peluru, kata Whanganui, distributor senjata api Selandia Baru yang telah menjual senjata selama 30 tahun, mengatakan kepada New Zealand Herald.
"Dalam waktu 10 hari ke depan setelah aksi terorisme mengerikan ini, kami akan mengumumkan reformasi peraturan, yang saya yakini, akan membuat masyarakat kita lebih aman," kata Ardern, dikutip dari Public Radio International, 20 Maret 2019.
Menurut UU Senjata Api Selandia Baru saat ini, senjata api kategori A termasuk senjata semi-otomatis namun dibatasi hingga tujuh peluru. Namun, senjata yang dipakai pelaku penembakan masjid adalah senapan dengan magazin peluru kapasitas besar.
"Di Selandia Baru, kepemilikan senjata adalah hak legal istimewa, namun bukan hak hukum," tutur Alexander Gillespie, profesor hukum di University of Waikato Selandia Baru.
"Jadi ini berarti perdana menteri bisa bertindak lebih cepat daripada apa yang terjadi, katakanlah, di Amerika Serikat," sambungnya.
Senjata mesin dan shootgun yang digunakan penembakan masjid di Selandia Baru di Christchurch, 15 Maret 2019. Penembakan massal pertama terjadi di masjid Masjid Al Noor di Christchurch. Social Media Website/Handout via REUTERS TV
Namun, ada lobi hukum yang kuat dari para pemburu di Selandia baru dan pendukung kepemilikan senjata api, yang mengatakan masalahnya bukan pada senjata tetapi pemiliknya, kata Gillespie.
Sementara distributor senjata api Whanganui khawatir, reaksi spontan terhadap penembakan di masjid hanya membuat polisi Selandia Baru dan orang jahat yang memiliki senjata api semi-otomatis.
Senjata yang digunakan pelaku penembakan di Christchurch adalah peluru tajam dari senapan serbu AR-15, senapan semi-otomatis yang dapat dimodifikasi untuk 30 butir amunisi dari tujuh peluru, kata Whanganui, distributor senjata api Selandia Baru yang telah menjual senjata selama 30 tahun, mengatakan kepada New Zealand Herald.
Credit tempo.co