Jakarta, 5/3 (CB) - Indonesia dan Kamboja pada tahun ini
merayakan peringatan 60 tahun hubungan diplomatik yang dimulai pada 13
Februari 1959.
Dari segi politik, budaya, dan sejarah, hubungan Indonesia dan Kamboja sudah sangat dekat. Namun, kedekatan hubungan Indonesia-Kamboja tersebut masih perlu "diterjemahkan" untuk menjadi sebuah manfaat ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kedua negara.
Untuk itu, dalam perayaan peringatan 60 tahun hubungan diplomatik tersebut, Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn pun menyampaikan harapan agar pemerintah kedua negara dapat terus melanjutkan hubungan yang terjalin baik selama ini dan meningkatkan kerja sama bilateral Indonesia-Kamboja di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi.
Pemerintah Indonesia dan Kamboja dalam pertemuan antar menteri luar negeri kedua negara pada awal Februari tahun lalu juga telah sepakat untuk mempererat hubungan kedua negara, khususnya melalui penguatan mekanisme bilateral.
Penguatan mekanisme bilateral itu salah satunya ditujukan untuk meningkatkan hubungan kerja sama ekonomi, terutama di bidang investasi, perdagangan, dan pariwisata.
Investasi
Bila menimbang jalinan hubungan bilateral selama 60 tahun, perkembangan investasi antara Indonesia dan Kamboja belum seperti yang diharapkan, kata Duta Besar RI untuk Kamboja Sudirman Haseng.
Dubes Sudirman menyebutkan bahwa sejauh ini belum ada badan usaha milik negara (BUMN) atau perusahaan Indonesia yang berinvestasi langsung di Kamboja.
Menurut dia, hambatan utama bagi pengusaha Indonesia berbisnis di Kamboja adalah persepsi yang belum proporsional tentang Kamboja.
"Banyak yang masih memandang Kamboja sebelah mata, dan itu antara lain dipengaruhi oleh informasi-informasi yang tidak akurat dan belum 'update'. Bayangan sebagian besar masyarakat Indonesia melihat Kamboja masih terbelakang dan belum potensial," jelasnya.
Padahal, Kamboja dalam beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat hingga mencapai rata-rata tujuh persen, yakni nilai yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun, dia lebih lanjut mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini ada peningkatan minat dari para pengusaha Indonesia sudah mulai eksplorasi untuk mulai masuk berbisnis dan berinvestasi di Kamboja.
"Memang investasi Indonesia di Kamboja belum seperti yang diharapkan, tetapi ada peningkatan minat dari pengusaha Indonesia untuk berinvestasi di Kamboja," ucap Dubes Sudirman.
Ia pun menekankan bahwa investasi itu tidak harus uangnya dari Indonesia karena perusahaan Indonesia bisa berpartispasi dalam proyek-proyek di Kamboja melalui kerja sama dengan bank-bank multinasional sebagai penyedia dana.
"Ini tetap dianggap sebagai investasi Indonesia karena dilakukan oleh perusahaan Indonesia, hanya sumber keuangannya itu tidak harus dari dalam negeri," ujarnya.
KBRI Phnom Penh mendorong perusahaan-perusahaan dan BUMN Indonesia untuk segera mengeksplor peluang yang ada karena masa sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk mulai masuk dan berinvestasi, khususnya dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur di Kamboja, seperti pembangunan fasilitas publik, infrastruktur telekomunikasi, pipa gas.
Selain itu, pengusaha dan BUMN Indonesia juga didorong untuk mulai berbisnis dengan memanfaatkan sumber daya alam di Kamboja yang relatif belum tereksplorasi dan terkelola dengan optimal.
"Perusahaan dan BUMN Indonesia perlu mengeksplor mineral di sini sebab masih banyak ruang, misalnya kandungan emas dan minyak belum tereksplor dengan baik di sini," ungkap Sudirman.
Perdagangan
Tidak seperti halnya investasi, hubungan perdagangan antara Indonesia-Kamboja terbilang cukup baik. Tren neraca perdagangan kedua negara dalam lima tahun (periode 2013-2017) terus meningkat dengan rata-rata 10,86 persen.
Total nilai perdagangan Indonesia-Kamboja pada 2017 mencapai 542,23 juta dolar AS, atau meningkat sebesar 19,9 persen dari nilai perdagangan pada 2016 yang hanya mencapai 452,19 juta dolar AS. Untuk periode Januari-Oktober 2018, total perdagangan kedua negara meningkat 3,2 persen dibanding periode yang sama pada 2017 hingga mencapai 455,87 juta dolar AS, dengan surplus bagi Indonesia sebesar 401,69 dolar AS.
Beberapa komoditas yang diimpor Indonesia dari Kamboja, antara lain pakaian jadi, karet, alas kaki.
Kamboja merupakan pasar alternatif potensial bagi produk Indonesia, khususnya mengingat sektor industri riil Kamboja belum mampu memproduksi kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan sektor prioritas.
Beberapa produk Indonesia yang cukup popular di Kamboja adalah produk makanan dan minuman kemasan, produk perawatan rumah dan otomotif, personal care, farmasi, batik, buah salak segar, dan kendaraan bermotor roda empat.
"Produk makanan minuman Indonesia semakin hari semakin meningkat di sini, termasuk produk pertanian buah salak segar.
Sebanyak 16 juta penduduk Kamboja bisa menyerap banyak salak, itu dianggap makanan kelas menengah ke atas," ungkap Dubes Sudirman.
Produk farmasi Indonesia pun saat ini dikenal masyarakat Kamboja sebagai produk tingkat menengah dan dipercaya cukup luas oleh masyarakat. Beberapa perusahaan farmasi Indonesia sudah berhasil memasarkan produknya di Kamboja, antara lain Dexa Group, Kalbe, Soho, Eagle Pharma.
"Pasar untuk produk farmasi Indonesia di sini sangat menjanjikan karena kualitasnya sudah diketahui dan harganya terjangkau," ujar Sudirman.
Namun, kata dia, produk-produk industri strategis Indonesia yang potensial, seperti pesawat dari PT Dirgantara Indonesia dan produk pertahanan dari PT Pindad belum banyak masuk ke pasar Kamboja.
Untuk itu, dalam upaya meningkatkan penetrasi produk Indonesia yang dinilai potensial untuk dipasarkan di Kamboja, setiap tahun KBRI Phnom Penh mengadakan kegiatan pertemuan bisnis, business matching, serta promosi dagang melalui pelaksanaan pameran, seperti Indonesian Trade and Tourism Promotion (ITTP) dan partisipasi dalam pameran ekspor-impor Kamboja.
Selain itu, KBRI juga membawa delegasi pengusaha Kamboja ke Trade Expo Indonesia setiap tahun dan menindaklanjuti "inquries" yang dikirim pengusaha Indonesia ataupun Kamboja.
"Kami selalu melakukan pameran untuk mempromosi produk dan pariwisata Indonesia. Tahun lalu 85 pengusaha Indonesia ikut pameran yang diadakan oleh KBRI Phnom Penh. Kami juga mengundang pengusaha Indonesia untuk berpartisipasi dalam berbagai pameran yang dilakukan oleh pemerintah setempat di Kamboja," ucap Dubes RI untuk Kamboja.
Pariwisata
Berdasarkan neraca perdagangan antarkedua negara, Indonesia lebih unggul daripada Kamboja dengan mendapatkan surplus.
Namun, Kamboja lebih beruntung dalam bidang pariwisata karena jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Kamboja lebih banyak daripada sebaliknya. Hal itu juga disebabkan Indonesia memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih besar dibandingkan Kamboja.
Jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Kamboja pada 2018 mencapai 55.753 orang, sementara wisatawan Kamboja yang berkunjung ke Indonesia pada tahun yang sama adalah 8.819 orang.
Namun demikian, Pemerintah RI menargetkan peningkatan jumlah wisatawan Kamboja yang berkunjung ke Indonesia seiring dengan pertambahan jumlah kelas menengah di negara itu.
"Peningkatan wisatawan Kamboja ke Indonesia minimal presentase kenaikan 15 persen per tahun, tetapi kita menargetkan itu bisa rata-rata 20 persen per tahun," kata Duta Besar RI untuk Kamboja Sudirman.
Menurut dia, jumlah kelas menengah ke atas di Kamboja meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara itu yang meningkat pesat selama beberapa tahun terakhir hingga mencapai rata-rata tujuh persen. Dengan peningkatan itu banyak warga Kamboja yang memasukkan kegiatan wisata dalam daftar gaya hidup mereka.
Adapun tempat wisata Indonesia yang paling diminati oleh para wisatawan Kamboja adalah Bali dan Yogyakarta. Bahkan, ada beberapa agen perjalanan di Kamboja yang menyediakan jasa layanan charter pesawat untuk rombongan wisatawan Kamboja yang khusus untuk berkunjung ke Bali.
Akan tetapi, terdapat satu kendala utama yang masih menghambat peningkatan jumlah wisatawan Kamboja ke Indonesia, yaitu tidak adanya jalur penerbangan langsung (direct flight) Indonesia-Kamboja.
"Maka tantangannya ada pada konektivitas. Sebenarnya kalau ada 'direct flight' itu bisa lebih meningkatkan jumlah wisatawan Kamboja ke Indonesia," ujar Sudirman.
Dari 10 negara ASEAN, hanya Indonesia dan Brunei Darussalam yang belum mempunyai penerbangan langsung dari dan ke Kamboja.
Tingkatkan kerjasama
Untuk dapat meningkatkan kerjasama ekonomi bilateral di masa depan, pemerintah Indonesia dan Kamboja perlu mengatasi beberapa hal utama yang sejauh ini menjadi hambatan, yakni perspektif buruk dan kurangnya konektivitas, yang juga menyebabkan masih rendahnya "people-to-people contact" antarkedua bangsa.
"Ketika interaksi antarmasyarakat kurang maka kerja sama ekonomi juga sulit ditingkatkan," ujar Dubes Sudirman.
Terkait perspektif, pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap Kamboja perlu diperbaharui karena Kamboja sebenarnya bukan lagi "underdeveloped country" dan sedang menuju menjadi negara berkembang, dengan pertumbuhan ekonomi pesat.
Terkait masalah konektivitas, khususnya tidak adanya penerbangan langsung Indonesia-Kamboja, diharapkan akan segera teratasi dengan upaya pembukaan jalur penerbangan Jakarta-Phnom Penh.
"Mudah-mudahan segera ada penerbangan langsung. Sudah ada pembicaraan intensif untuk membuka jalur penerbangan langsung antara Jakarta dan Phnom Penh. Semoga semester depan bisa terealisasi," ungkap Sudirman.
Perbaikan perspektif dan konektivitas serta peningkatan "people-to-people contact", terutama interaksi antara kalangan pengusaha dan BUMN, harus dilakukan agar kerja sama ekonomi kedua negara dapat meningkat lebih baik lagi.
Pada akhirnya, hubungan kerja sama ekonomi yang baik antara Indonesia dan Kamboja bukan hanya tentang upaya untuk mencari keuntungan dari satu sama lain, namun juga untuk saling membantu guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kedua negara.
Dari segi politik, budaya, dan sejarah, hubungan Indonesia dan Kamboja sudah sangat dekat. Namun, kedekatan hubungan Indonesia-Kamboja tersebut masih perlu "diterjemahkan" untuk menjadi sebuah manfaat ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kedua negara.
Untuk itu, dalam perayaan peringatan 60 tahun hubungan diplomatik tersebut, Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn pun menyampaikan harapan agar pemerintah kedua negara dapat terus melanjutkan hubungan yang terjalin baik selama ini dan meningkatkan kerja sama bilateral Indonesia-Kamboja di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi.
Pemerintah Indonesia dan Kamboja dalam pertemuan antar menteri luar negeri kedua negara pada awal Februari tahun lalu juga telah sepakat untuk mempererat hubungan kedua negara, khususnya melalui penguatan mekanisme bilateral.
Penguatan mekanisme bilateral itu salah satunya ditujukan untuk meningkatkan hubungan kerja sama ekonomi, terutama di bidang investasi, perdagangan, dan pariwisata.
Investasi
Bila menimbang jalinan hubungan bilateral selama 60 tahun, perkembangan investasi antara Indonesia dan Kamboja belum seperti yang diharapkan, kata Duta Besar RI untuk Kamboja Sudirman Haseng.
Dubes Sudirman menyebutkan bahwa sejauh ini belum ada badan usaha milik negara (BUMN) atau perusahaan Indonesia yang berinvestasi langsung di Kamboja.
Menurut dia, hambatan utama bagi pengusaha Indonesia berbisnis di Kamboja adalah persepsi yang belum proporsional tentang Kamboja.
"Banyak yang masih memandang Kamboja sebelah mata, dan itu antara lain dipengaruhi oleh informasi-informasi yang tidak akurat dan belum 'update'. Bayangan sebagian besar masyarakat Indonesia melihat Kamboja masih terbelakang dan belum potensial," jelasnya.
Padahal, Kamboja dalam beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat hingga mencapai rata-rata tujuh persen, yakni nilai yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun, dia lebih lanjut mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini ada peningkatan minat dari para pengusaha Indonesia sudah mulai eksplorasi untuk mulai masuk berbisnis dan berinvestasi di Kamboja.
"Memang investasi Indonesia di Kamboja belum seperti yang diharapkan, tetapi ada peningkatan minat dari pengusaha Indonesia untuk berinvestasi di Kamboja," ucap Dubes Sudirman.
Ia pun menekankan bahwa investasi itu tidak harus uangnya dari Indonesia karena perusahaan Indonesia bisa berpartispasi dalam proyek-proyek di Kamboja melalui kerja sama dengan bank-bank multinasional sebagai penyedia dana.
"Ini tetap dianggap sebagai investasi Indonesia karena dilakukan oleh perusahaan Indonesia, hanya sumber keuangannya itu tidak harus dari dalam negeri," ujarnya.
KBRI Phnom Penh mendorong perusahaan-perusahaan dan BUMN Indonesia untuk segera mengeksplor peluang yang ada karena masa sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk mulai masuk dan berinvestasi, khususnya dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur di Kamboja, seperti pembangunan fasilitas publik, infrastruktur telekomunikasi, pipa gas.
Selain itu, pengusaha dan BUMN Indonesia juga didorong untuk mulai berbisnis dengan memanfaatkan sumber daya alam di Kamboja yang relatif belum tereksplorasi dan terkelola dengan optimal.
"Perusahaan dan BUMN Indonesia perlu mengeksplor mineral di sini sebab masih banyak ruang, misalnya kandungan emas dan minyak belum tereksplor dengan baik di sini," ungkap Sudirman.
Perdagangan
Tidak seperti halnya investasi, hubungan perdagangan antara Indonesia-Kamboja terbilang cukup baik. Tren neraca perdagangan kedua negara dalam lima tahun (periode 2013-2017) terus meningkat dengan rata-rata 10,86 persen.
Total nilai perdagangan Indonesia-Kamboja pada 2017 mencapai 542,23 juta dolar AS, atau meningkat sebesar 19,9 persen dari nilai perdagangan pada 2016 yang hanya mencapai 452,19 juta dolar AS. Untuk periode Januari-Oktober 2018, total perdagangan kedua negara meningkat 3,2 persen dibanding periode yang sama pada 2017 hingga mencapai 455,87 juta dolar AS, dengan surplus bagi Indonesia sebesar 401,69 dolar AS.
Beberapa komoditas yang diimpor Indonesia dari Kamboja, antara lain pakaian jadi, karet, alas kaki.
Kamboja merupakan pasar alternatif potensial bagi produk Indonesia, khususnya mengingat sektor industri riil Kamboja belum mampu memproduksi kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan sektor prioritas.
Beberapa produk Indonesia yang cukup popular di Kamboja adalah produk makanan dan minuman kemasan, produk perawatan rumah dan otomotif, personal care, farmasi, batik, buah salak segar, dan kendaraan bermotor roda empat.
"Produk makanan minuman Indonesia semakin hari semakin meningkat di sini, termasuk produk pertanian buah salak segar.
Sebanyak 16 juta penduduk Kamboja bisa menyerap banyak salak, itu dianggap makanan kelas menengah ke atas," ungkap Dubes Sudirman.
Produk farmasi Indonesia pun saat ini dikenal masyarakat Kamboja sebagai produk tingkat menengah dan dipercaya cukup luas oleh masyarakat. Beberapa perusahaan farmasi Indonesia sudah berhasil memasarkan produknya di Kamboja, antara lain Dexa Group, Kalbe, Soho, Eagle Pharma.
"Pasar untuk produk farmasi Indonesia di sini sangat menjanjikan karena kualitasnya sudah diketahui dan harganya terjangkau," ujar Sudirman.
Namun, kata dia, produk-produk industri strategis Indonesia yang potensial, seperti pesawat dari PT Dirgantara Indonesia dan produk pertahanan dari PT Pindad belum banyak masuk ke pasar Kamboja.
Untuk itu, dalam upaya meningkatkan penetrasi produk Indonesia yang dinilai potensial untuk dipasarkan di Kamboja, setiap tahun KBRI Phnom Penh mengadakan kegiatan pertemuan bisnis, business matching, serta promosi dagang melalui pelaksanaan pameran, seperti Indonesian Trade and Tourism Promotion (ITTP) dan partisipasi dalam pameran ekspor-impor Kamboja.
Selain itu, KBRI juga membawa delegasi pengusaha Kamboja ke Trade Expo Indonesia setiap tahun dan menindaklanjuti "inquries" yang dikirim pengusaha Indonesia ataupun Kamboja.
"Kami selalu melakukan pameran untuk mempromosi produk dan pariwisata Indonesia. Tahun lalu 85 pengusaha Indonesia ikut pameran yang diadakan oleh KBRI Phnom Penh. Kami juga mengundang pengusaha Indonesia untuk berpartisipasi dalam berbagai pameran yang dilakukan oleh pemerintah setempat di Kamboja," ucap Dubes RI untuk Kamboja.
Pariwisata
Berdasarkan neraca perdagangan antarkedua negara, Indonesia lebih unggul daripada Kamboja dengan mendapatkan surplus.
Namun, Kamboja lebih beruntung dalam bidang pariwisata karena jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Kamboja lebih banyak daripada sebaliknya. Hal itu juga disebabkan Indonesia memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih besar dibandingkan Kamboja.
Jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Kamboja pada 2018 mencapai 55.753 orang, sementara wisatawan Kamboja yang berkunjung ke Indonesia pada tahun yang sama adalah 8.819 orang.
Namun demikian, Pemerintah RI menargetkan peningkatan jumlah wisatawan Kamboja yang berkunjung ke Indonesia seiring dengan pertambahan jumlah kelas menengah di negara itu.
"Peningkatan wisatawan Kamboja ke Indonesia minimal presentase kenaikan 15 persen per tahun, tetapi kita menargetkan itu bisa rata-rata 20 persen per tahun," kata Duta Besar RI untuk Kamboja Sudirman.
Menurut dia, jumlah kelas menengah ke atas di Kamboja meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara itu yang meningkat pesat selama beberapa tahun terakhir hingga mencapai rata-rata tujuh persen. Dengan peningkatan itu banyak warga Kamboja yang memasukkan kegiatan wisata dalam daftar gaya hidup mereka.
Adapun tempat wisata Indonesia yang paling diminati oleh para wisatawan Kamboja adalah Bali dan Yogyakarta. Bahkan, ada beberapa agen perjalanan di Kamboja yang menyediakan jasa layanan charter pesawat untuk rombongan wisatawan Kamboja yang khusus untuk berkunjung ke Bali.
Akan tetapi, terdapat satu kendala utama yang masih menghambat peningkatan jumlah wisatawan Kamboja ke Indonesia, yaitu tidak adanya jalur penerbangan langsung (direct flight) Indonesia-Kamboja.
"Maka tantangannya ada pada konektivitas. Sebenarnya kalau ada 'direct flight' itu bisa lebih meningkatkan jumlah wisatawan Kamboja ke Indonesia," ujar Sudirman.
Dari 10 negara ASEAN, hanya Indonesia dan Brunei Darussalam yang belum mempunyai penerbangan langsung dari dan ke Kamboja.
Tingkatkan kerjasama
Untuk dapat meningkatkan kerjasama ekonomi bilateral di masa depan, pemerintah Indonesia dan Kamboja perlu mengatasi beberapa hal utama yang sejauh ini menjadi hambatan, yakni perspektif buruk dan kurangnya konektivitas, yang juga menyebabkan masih rendahnya "people-to-people contact" antarkedua bangsa.
"Ketika interaksi antarmasyarakat kurang maka kerja sama ekonomi juga sulit ditingkatkan," ujar Dubes Sudirman.
Terkait perspektif, pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap Kamboja perlu diperbaharui karena Kamboja sebenarnya bukan lagi "underdeveloped country" dan sedang menuju menjadi negara berkembang, dengan pertumbuhan ekonomi pesat.
Terkait masalah konektivitas, khususnya tidak adanya penerbangan langsung Indonesia-Kamboja, diharapkan akan segera teratasi dengan upaya pembukaan jalur penerbangan Jakarta-Phnom Penh.
"Mudah-mudahan segera ada penerbangan langsung. Sudah ada pembicaraan intensif untuk membuka jalur penerbangan langsung antara Jakarta dan Phnom Penh. Semoga semester depan bisa terealisasi," ungkap Sudirman.
Perbaikan perspektif dan konektivitas serta peningkatan "people-to-people contact", terutama interaksi antara kalangan pengusaha dan BUMN, harus dilakukan agar kerja sama ekonomi kedua negara dapat meningkat lebih baik lagi.
Pada akhirnya, hubungan kerja sama ekonomi yang baik antara Indonesia dan Kamboja bukan hanya tentang upaya untuk mencari keuntungan dari satu sama lain, namun juga untuk saling membantu guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kedua negara.
Credit antaranews.com