Selasa, 09 April 2019

Pasukan Dua Pemerintah di Libya Saling Serang di Tripoli


Pasukan Dua Pemerintah di Libya Saling Serang di Tripoli
Ilustrasi pasukan Libya. (REUTERS/Hani Amara)




Jakarta, CB -- Pertikaian dua poros politik di Libya sampai saat ini menelan 32 korban meninggal dan 50 orang luka-luka. Jumlah korban masih ada kemungkinan bisa bertambah karena pertempuran masih berlangsung dan bisa mengarah kepada perang sipil.

Seperti dilansir AFP, Senin (8/4), pertempuran sengit terjadi antara pasukan Panglima Khalifa Haftar yang mendukung pemerintah Libya di Benghazi dengan prajurit pro pemerintah yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (GNA) di Tripoli.

Haftar menyatakan 14 pasukannya meninggal dalam pertempuran itu. Kedua angkatan bersenjata juga melakukan serangan udara.


Haftar mencoba menguasai Tripoli dengan mengerahkan pasukan sejak Kamis pekan lalu. Karena hal itu, pasukan pro GNA menggelar operasi Gunung Api Amarah.

Menurut juru bicara pasukan GNA, Kolonel Mohamed Gnounou, bertujuan menumpas pasukan liar dan yang menyerang kota-kota Libya.

Sejak pasukan pemberontak yang didukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berhasil menumbangkan Moamar Khadafi pada 2011, pemerintah Libya justru kacau balau. Sejumlah suku mempersenjatai diri dan menguasai ladang-ladang minyak, dan beberapa kelompok bersenjata malah saling serang.

PBB hanya mengakui pemerintah Libya di Tripoli. Sedangkan faksi lain membentuk pemerintah tandingan di Benghazi. Karena konflik terus-terusan terjadi, juga menjadi lahan subur kelompok bersenjata dan persembunyian teroris, Libya dianggap sebagai negara gagal (failed state).

Sejumlah persenjataan pasukan Libya di masa mendiang Khadafi juga dicuri dan dijual di pasar gelap. Sekelumit situasi kekacauan di Libya digambarkan dalam film garapan sutradara Michael Bay berjudul '13 Hours: Secret Soldiers of Benghazi'.

Film itu mengisahkan tentang sejumlah anggota keamanan yang disewa Agensi Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA), yang berjuang mempertahankan diri dari serangan kelompok bersenjata. Mereka bertempur saat kelompok bersenjata menyerang konsulat AS di Benghazi, mengakibatkan Duta Besar AS, J. Christopher Stevens, dan staf teknologi informasi Kementerian Luar Negeri, Sean Smith, meninggal.




Credit  cnnindonesia.com