Selasa, 09 April 2019

Desakan PBB Terkait Konflik Internal Libya Terganjal Rusia


Desakan PBB Terkait Konflik Internal Libya Terganjal Rusia
Ilustrasi rapat Dewan Keamanan PBB. (REUTERS/Andrew Kelly)



Jakarta, CB -- Upaya yang ditempuh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk mencegah perang saudara di Libya terganjal. Penyebabnya adalah Rusia tidak sepakat dengan desakan DK PBB kepada pasukan loyalis Jenderal Khalifa Haftar untuk menghentikan penyerbuan ke Kota Tripoli.

Seperti dilansir AFP, Senin (8/4), Rusia berkeras menolak pernyataan desakan DK PBB terkait konflik Libya. Sebab menurut mereka, seharusnya seruan itu ditujukan kepada kedua belah pihak yang sedang bertikai.

Penolakan Rusia atas pernyataan DK PBB soal Libya dianggap berat sebelah karena mereka mendukung Haftar, selain Uni Emirat Arab dan Mesir.


Di samping itu, Rusia menuduh Amerika Serikat mengubah usulan desakan DK PBB. Usulan Inggris juga ditolak Rusia.


Akhirnya, DK PBB menerbitkan pernyataan mendesak pasukan Haftar menghentikan serangan, dan seluruh pasukan tidak memancing pertikaian.

DK PBB juga meminta semua pihak yang hendak merusak perdamaian Libya supaya segera ditahan. Mereka juga meminta semua faksi politik di Libya mendukung konferensi nasional untuk menentukan pemilihan umum.

Pertempuran sengit terjadi sejak Minggu (7/4) pekan lalu. Misi PBB untuk Libya (UNSMIL) meminta kedua pasukan melakukan gencatan senjata demi kemanusiaan, pada pukul 16.00 sampai 18.00 waktu setempat.

Haftar yang merupakan panglima Pasukan Nasional Libya (LNA), mengirim serdadunya untuk menguasai Tripoli. Haftar yang mendukung pemerintah tandingan di Benghazi menyerang pemerintah yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).


Pemerintah Libya yang didukung PBB (GNA) membalas penyerbuan pasukan Haftar. Menurut juru bicara pasukan GNA, Kolonel Mohamed Gnounou, bertujuan menumpas pasukan liar dan yang menyerang kota-kota Libya.

Sejak pasukan pemberontak yang didukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berhasil menumbangkan Muammar Khadafi pada 2011, pemerintah Libya justru kacau balau. Haftar yang mempunyai pasukan menguasai wilayah timur dengan pusat pemerintahan di Benghazi.

Sejumlah persenjataan pasukan Libya di masa mendiang Khadafi juga dicuri dan dijual di pasar gelap.

Pemerintahan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj pun tidak efektif. Sebab, dia tidak mampu menjaga wilayahnya karena sejumlah suku mempersenjatai diri dan menguasai ladang-ladang minyak. Di samping itu beberapa kelompok bersenjata saling serang memperebutkan banyak hal.

Karena konflik terus-terusan terjadi, juga menjadi lahan subur kelompok bersenjata dan persembunyian teroris seperti ISIS, Libya dianggap sebagai negara gagal (failed state).

Sebelum pecah pertempuran, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, sudah berupaya membujuk Haftar supaya mengurungkan niatnya menyerbu Tripoli. Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil.




Credit  cnnindonesia.com