Resolusi berisi usulan tentang cara dan sarana untuk memastikan keamanan Palestina.
CB,
NEW YORK -- Majelis Umum PBB diperkirakan akan membahas rancangan
resolusi untuk memberikan perlindungan bagi warga sipil Palestina pada
Rabu (13/6) mendatang. Pemungutan suara akan dilakukan dalam sidang
darurat itu, setelah resolusi serupa yang diajukan Kuwait diveto oleh AS
di Dewan Keamanan PBB pekan lalu.
Dilaporkan kantor berita
Anadolu,
rancangan resolusi itu akan meminta Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB
Antonio Guterres untuk meninjau situasi saat ini dan menyerahkan laporan
tertulis sesegera mungkin. Laporan harus diserahkan tidak lebih dari 60
hari sejak resolusi diadopsi.
Resolusi tersebut berisi usulan tentang cara dan sarana untuk
memastikan keamanan, perlindungan, dan kesejahteraan penduduk sipil
Palestina di bawah pendudukan Israel. Salah satunya dengan memberikan
rekomendasi mengenai mekanisme perlindungan internasional.
Mengacu
pada sejumlah resolusi PBB lainnya yang terkait pada perlindungan warga
sipil dalam konflik bersenjata, rancangan resolusi Palestina juga
menyatakan keprihatinan atas pembunuhan warga sipil, termasuk anak-anak,
tenaga medis, dan jurnalis oleh pasukan Israel. Rancangan resolusi itu
menekankan perlunya Dewan Keamanan dan negara-negara anggota PBB untuk
memperkuat perlindungan warga sipil. Selain itu, PBB juga perlu
mendukung solusi abadi untuk konflik Israel-Palestina yang hanya dapat
dicapai dengan cara damai sesuai dengan hukum internasional dan resolusi
PBB yang relevan, serta melalui negosiasi yang kredibel.
Rancangan
resolusi kali ini kemudian akan mendesak keterlibatan lebih jauh dari
Sekjen PBB dan Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur
Tengah guna membantu bekerja sama dengan mitra yang peduli. Hal itu
dilakukan dalam upaya untuk mengurangi ketegangan situasi dan membenahi
infrastruktur, kemanusiaan, dan kebutuhan pembangunan ekonomi, termasuk
melalui implementasi proyek yang didukung oleh Ad Hoc Liaison Committee.
Rancangan
resolusi tersebut juga menyerukan upaya untuk mengakhiri penjajahan
Israel yang dimulai pada 1967 dan memenuhi persyaratan yang diperlukan
untuk memulai negosiasi yang kredibel demi perdamaian yang adil dan
abadi. Semuanya diupayakan berdasarkan solusi dua negara demokratis
yaitu Israel dan Palestina yang hidup berdampingan secara damai dengan
garis perbatasan yang aman dan diakui.
Rancangan
resolusi itu juga memutuskan untuk menunda sementara sidang darurat
khusus kesepuluh Majelis Umum PBB. Pengesahan Presiden Majelis Umum pada
sidang terbaru juga ditunda atas permintaan negara-negara anggota.
Rancangan
resolusi lebih lanjut menegaskan kembali hak untuk berkumpul dan hak
untuk melakukan aksi protes secara damai. Resolusi juga menekankan
pentingnya penyelidikan independen dan transparan sesuai dengan standar
internasional.
Semua pihak dinilai harus melakukan
upaya untuk menstabilkan situasi dan membalikkan tren negatif di
lapangan. Langkah pembatasan yang diberlakukan oleh Israel pada akses
masuk dan keluar Jalur Gaza, termasuk untuk aliran bantuan kemanusiaan,
juga perlu dihentikan.
Rancangan resolusi itu
kemudian mendorong langkah nyata menuju rekonsiliasi intra-Palestina dan
langkah-langkah konkret untuk menyatukan kembali Jalur Gaza dan Tepi
Barat di bawah pemerintahan Palestina yang sah. Pada 2 Juni lalu, AS
memveto resolusi yang diajukan Kuwait ke Dewan Keamanan PBB. Resolusi
tersebut mengutuk kekerasan yang dilakukan Israel dan menyerukan
perlindungan terhadap rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat.
Sepuluh
negara di Dewan Keamanan PBB memberikan suara dukungan. Sementara
Inggris, Polandia, Belanda, dan Ethiopia memilih abstain. Dewan Keamanan
PBB lalu menolak rancangan resolusi yang diajukan AS, yang menyerukan
penghukuman terhadap Hamas atas insiden kekerasan di Gaza. Resolusi AS
itu ditentang oleh Rusia, Kuwait, dan Bolivia sementara 11 negara
lainnya abstain dari pemungutan suara.