Selasa, 12 September 2017

Komite di Oslo Didesak Ubah Aturan untuk Cabut Nobel Aung San Suu Kyi


Aung San Suu Kyi
EPA Para aktivis menganggap AungSanSuuKyi tak berbuat banyak untuk mengakhiri krisis kemanusiaan diRakhine.

Jakarta - Komite Hadiah Nobel Perdamaian di Oslo diminta mengubah peraturan internal sehingga Nobel Perdamaian untuk Aung San Suu Kyi bisa dicabut karena dianggap tak berbuat banyak untuk mengatasi krisis Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Petisi pencabutan Nobel yang diterima Aung San Suu Kyi pada 1991 tersebut hingga Senin (11/09) siang mencapai hampir 500.000 tanda tangan.
Rencananya petisi ini akan disampaikan ke Komite di Oslo begitu melewati batas setengah juta pendukung, kata salah seorang inisiator petisi Agus Sari.
"Kami berencana menyerahkan langsung petisi ini ke Komite Nobel pada saatnya nanti. Kami sadar bahwa mereka sudah mengatakan tidak bisa mencabut Nobel (untuk Aung San Suu Kyi), tapi yang ingin kami sampaikan adalah Aung San Suu Kyi tidak layak menerimnya," kata Agus kepada BBC Indonesia.

 "Yang penting ada kesadaran publik bahwa perlu ada tekanan besar kepada Aung San Suu Kyi dan penguasa militer untuk menghentikan krisis kemanusiaan di Rakhine," katanya.
Sebelumnya, Jonna Petterson dari Kantor Komite Nobel, kepada BBC Indonesia mengatakan, "Berdasarkan anggaran dasar kami, Hadiah Nobel tidak dapat dicabut."
'Terlibat kejahatan kemanusiaan'


Poster Aung San Suu Kyi
Reuters Dalam demonstrasi diJakarta, pemimpin Myanmar AungSanSuuKyi dikatakan sebagai penjahat kemanusiaan.

Selain tak dapat dicabut, mantan anggota komite, Gunnar Stalsett, mengatakan komite juga tidak mengeluarkan kecaman.
"Hadiah (Nobel) Perdamaian tak pernah dicabut dan Komite tidak mengeluarkan kecaman atau mengkritik penerima hadiah," kata Stalsett, mantan politikus yang menjadi anggota komite pada 1991, saat Suu Kyi menerima penghargaan.
"Prinsip yang kami anut adalah bahwa keputusan (pemberian Hadiah Nobel) bukan deklarasi seorang yang suci," kata Stalsett seperti dikutip The New York Times.
"Saat keputusan telah dibuat dan hadiah diberikan, itulah akhir tanggung jawab Komite," tambahnya.

 Agus Sari mengatakan pihaknya menghormati Anggaran Dasar atau aturan internal Komite Nobel. Tapi ada baiknya Komite sekarang melakukan kajian atau evaluasi untuk mencerminkan situasi yang berkembang di lapangan.
"Mereka harus melihat ke diri sendiri, me-review secara internal, jangan-jangan ada kriteria atau mekanisme (pemberian Hadiah Nobel) yang harus mereka ubah," kata Agus.
Salah satu pendukung petisi adalah kolumnis surat kabar Inggris The Guardian, Gerge Monbiot.
Menurut Monbiot, Komite Nobel harus bertanggung jawab atas penghargaan yang mereka berikan dan mencabut penghargaan jika dianggap para penerima melanggar prinsip-prinsip yang mereka pegang.
Terbuka kemungkinan, tulis Monbiot, 'kita berada dalam situasi luar biasa di mana penerima hadiah Nobel Perdamaian terlibat kejahatan terhadap kemanusiaan'.





Credit  detik.com



Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi tak bisa ditarik walau banyak yang tuntut


pengungsi Rohingya
foto AFP
Image caption Pengungsi Rohingya melewati Sungai Naf untuk menuju Bangladesh.

Di tengah krisis kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingnya, para aktivis mendesak Komite Nobel mencabut hadiah untuk Aung San Suu Kyi, namun permintaan itu tak bisa dipenuhi berdasarkan anggaran dasar komite.
Pemimpin de fakto Myanmar, Aung San Suu Kyi dikritik oleh pelapor khusus PBB untuk hak asasi di Myanmar karena dianggap tidak melindungi minoritas Muslim Rohingya.
Petisi melalui change.org dengan judul - Ambil Kembali Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi - telah ditandatangani lebih dari 300.000 sebelum diajukan ke Komite Nobel bila telah mencapai angka 500.000 tanda tangan. Petisi serupa juga dilakukan melalui online lain termasuk avaaz.org dengan ribuan pendukung.

 Sejumlah aktivis lain termasuk penerima Hadiah Nobel Perdamaian lain, Malala Yousafzai, juga mengkritik Suu Kyi terkait penanganan Muslim Rohingya.
"Dalam beberapa tahun terakhir, saya berulang kali mengecam perlakukan tragis dan memalukan (terhadap Muslim Rohingya). Saya masih menunggu rekan penerima Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi untuk melakukan hal yang sama. Dunia menunggu dan Muslim Rohingya juga menunggu," cuit Melala melalui akun Twiternya.
PBB mencatat angka sekitar 123.000 orang yang telah mengungsi ke Bangladesh menyusul konflik yang kembali pecah akhir Agustus lalu menyusul serangan ke paling tidak 20 kantor polisi oleh kelompok gerilyawan Rohingya yang menamakan diri Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).

Serangan ini dilakukan ARSA sebagai respons terhadap hal yang mereka katakan upaya untuk mencegah persekusi lebih lanjut terhadap Rohingnya oleh militer Myanmar. Langkah ini memicu operasi militer yang menyebabkan warga Rohingnya mengungsi dari desa-desa mereka.
Akhir Desember 2016, beberapa penerima Hadiah Nobel, termasuk Muhammad Yunus, Malala dan Desmond Tutu dan 11 penerima lain, menandatangani surat terbuka terkait Rohingya dan "memperingatkan terjadinya potensi genosida."

Tuntutan cabut Hadiah Nobel

Surat terbuka ini dan unggapan Malala pada Senin (04/09) ditanggapi dengan kritikan terhadap Aung San Suu Kyi, dan tuntutan agar hadiah Nobel yang ia terima ditarik kembali.

Salah seorang pengguna @HumzaYousaf, menanggapi dengan menulis, "(Pernyataan (kuat) dari @Malala - dengan tepat menyerukan kepada Aung San Suu Kyi terkait tanggapan tak atas perlakukan buruk terhadap Rohingnya yang terjadi di bawah pemerintahanya."
Melalui Facebook, akun atas nama Ebrahim Mohammad, menyebutkan ,"Aung San Suu Kyi bukan orang seperti yang diperkirakan dunia, Hadiah Nobel Perdamaian harus dicabut. Ia tak mengindahkan pembunuhan massal oleh militernya."
Namun ada juga pengguna lain yang meminta untuk tidak mengaitkan dengan agama, Annie‏ @anniesehar1, yang menulis, "Saya harap Dunia akan mengerti ini semua bukan karena agama. Keberutalan ini harus dihentikan. Hargai hidup manusia dan ciptakan Dunia yang damai."
Dalam wawancara dengan wartawan BBC Fergal Keane April lalu, Suu Kyi menolak definisi genosida dan menyebutkan sebagai dua komunitas yang terpecah.
Penerima Nobel asal Bangladesh, Muhammad Yunus dalam surat terbukanya yang diterbitkan Selasa (05/09) melalui Twitter berisi desakan kepada Dewan Keamanan PBB untuk "turun tangan menangani krisis kemanusiaan di Rakhine."

Mungkinkah Hadiah Nobel dicabut?

Komite Nobel yang terdiri dari warga Norwegia dan diangkat oleh parlemen negara itu, tidak pernah mencabut hadiah dan demikian pula halnya dengan yang diterima Aung San Suu Kyi.
Jonna Petterson dari Kantor Komite Nobel - dalam jawaban pertanyaan BBC Indonesia - menulis, "Berdasarkan anggaran dasar kami, Hadiah Nobel tidak dapat dicabut."
Selain tak dapat dicabut, mantan anggota komite, Gunnar Stalsett, mengatakan komite juga tidak mengeluarkan kecaman.
"Hadiah (Nobel) Perdamaian tak pernah dicabut dan komite tidak mengeluarkan kecaman atau mengkritik penerima hadiah," kata Stalsett, mantan politikus yang menjadi anggota komite pada 1991, saat Suu Kyi menerima penghargaan.

 "Prinsip yang kami anut adalah keputusan (pemberian hadiah) bukan deklarasi seorang yang suci," kata Stalsett seperti dikutip New York Times.
"Saat keputusan telah dibuat dan hadiah diberikan, itulah akhir tanggung jawab komite," tambahnya.

Emerson Yuntho, aktivis kemanusiaan Indonesia, yang mengawali petisi di change.org, mengatakan Komite Nobel seharusnya "membuat terobosan" terkait dengan perkembangan yang terjadi ini.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bertemu dengan Aung San Suu Kyi Senin (04/09) dan meminta pemerintah Myanmar menghentikan kekerasan.
Pelapor khusus hak asasi manusia PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mengkritik penerima Nobel ini karena dianggap gagal melindungi Muslim Rohingya.
Sejumlah penerima Hadiah Nobel lain juga menghadapi silang pendapat. Para aktivis juga pernah menuntut ditariknya hadiah untuk Henry Kissinger dan Barack Obama.
Pada 1994, salah seorang anggota komite mengundurkan diri menyusul Hadiah Nobel yang diberikan kepada pemimpin Israel dan Palestina, Shimon Perez, Yitzhak Rabin serta Yasser Arafat.

Kaare Kristiansen, anggota komite Nobel, saat itu menyebut Arafat "teroris" yang tak pantas mendapat Nobel.




Credit  bbc.com