Jakarta - Lembaga sains Pentagon, Defense Advanced Research
Projects Agency — DARPA, telah mulai mengerjakan sebuah pesawat kecil
tak berawak (drone) yang memperluas jangkauan rudal udara-ke-udara AIM-120.
Drone “Flying Missile Rail” dapat membantu pasukan Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika Serikat mengimbangi atau melampaui jangkauan rudal buatan Rusia dan Cina yang semakin meningkat.
AIM-120 yang baru menawarkan jangkauan sekitar 100 mil. Sementara Cina telah menguji rudal tempur tempur jarak jauh yang tampaknya bisa terbang sejauh 200 mil.
Manajer program Jimmy Jones - seorang kolonel Angkatan Udara -
menginginkan peluncur robot tersebut murah dan mudah diproduksi sehingga
militer dapat dengan cepat mengeluarkan ratusan rudal tepat pada
waktunya saat perang.
DARPA mengajukan proposal untuk Flying Missile Rail (FMR) pada awal September 2017. Badan ini mengusulkan untuk menghabiskan US$ 375.000(sekitar Rp 5 miliar) untuk mengembangkan dan menguji produk tersebut setahun ke depan.
FMR merupakan solusi terhadap meningkatnya biaya dan kompleksitas pesawat tempur baru. Jika militer tidak dapat mengembangkan pesawat tempur baru dengan cepat dan murah, mungkin pesawat tersebut dapat dilengkapi dengan awak robot sehingga tidak ada pilot yang mati di dalam pesawat.
"Sebuah pesawat monolitik canggih baru biasanya membutuhkan 10 sampai 25 tahun untuk proses desain, pengembangan dan produksi," tulis Jones kepada industri kedirgantaraan.
Dalam rencana itu, DARPA ingin melakukan dua hal, yaitu mengembangkan desain untuk FMR dan memproduksi duplikat drone tersebut sebanyak 500 unit per bulan. Sebagai gambaran, Angkatan Udara dan Angkatan Laut sama-sama meminta 325 unit AIM-120 untuk tahun 2018 yang berarti tingkat produksi sekitar 27 rudal per bulan. Begitu FMR mencapai area target, kendaraan FMR akan mampu berkeliaran sampai senjata dilepaskan.
Idealnya, FMR akan mampu melakukan lebih dari sekedar meluncurkan AIM-120. "FMR adalah perangkat yang secara opsional dapat tetap berada di sayap pesawat F-16 atau F-18 dan melepaskan rudal AIM-120, atau secara bergantian, terbang menjauh dari pesawat induk yang bertindak sebagai pendorong dan memperluas jangkauan sebuah AIM-120, Bom Diameter Kecil atau payload khusus," tulis Jones.
Rel drone peluncur rudal itu harus kompatibel dengan titik-titik pada F-16 Angkatan Udara dan F/A-18 Angkatan Laut. Mesin ini juga harus memiliki ruang untuk radio dan antena sehingga bisa berkomunikasi dengan pesawat tempur peluncur.
Drone “Flying Missile Rail” dapat membantu pasukan Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika Serikat mengimbangi atau melampaui jangkauan rudal buatan Rusia dan Cina yang semakin meningkat.
AIM-120 yang baru menawarkan jangkauan sekitar 100 mil. Sementara Cina telah menguji rudal tempur tempur jarak jauh yang tampaknya bisa terbang sejauh 200 mil.
DARPA mengajukan proposal untuk Flying Missile Rail (FMR) pada awal September 2017. Badan ini mengusulkan untuk menghabiskan US$ 375.000(sekitar Rp 5 miliar) untuk mengembangkan dan menguji produk tersebut setahun ke depan.
FMR merupakan solusi terhadap meningkatnya biaya dan kompleksitas pesawat tempur baru. Jika militer tidak dapat mengembangkan pesawat tempur baru dengan cepat dan murah, mungkin pesawat tersebut dapat dilengkapi dengan awak robot sehingga tidak ada pilot yang mati di dalam pesawat.
"Sebuah pesawat monolitik canggih baru biasanya membutuhkan 10 sampai 25 tahun untuk proses desain, pengembangan dan produksi," tulis Jones kepada industri kedirgantaraan.
Dalam rencana itu, DARPA ingin melakukan dua hal, yaitu mengembangkan desain untuk FMR dan memproduksi duplikat drone tersebut sebanyak 500 unit per bulan. Sebagai gambaran, Angkatan Udara dan Angkatan Laut sama-sama meminta 325 unit AIM-120 untuk tahun 2018 yang berarti tingkat produksi sekitar 27 rudal per bulan. Begitu FMR mencapai area target, kendaraan FMR akan mampu berkeliaran sampai senjata dilepaskan.
Idealnya, FMR akan mampu melakukan lebih dari sekedar meluncurkan AIM-120. "FMR adalah perangkat yang secara opsional dapat tetap berada di sayap pesawat F-16 atau F-18 dan melepaskan rudal AIM-120, atau secara bergantian, terbang menjauh dari pesawat induk yang bertindak sebagai pendorong dan memperluas jangkauan sebuah AIM-120, Bom Diameter Kecil atau payload khusus," tulis Jones.
Rel drone peluncur rudal itu harus kompatibel dengan titik-titik pada F-16 Angkatan Udara dan F/A-18 Angkatan Laut. Mesin ini juga harus memiliki ruang untuk radio dan antena sehingga bisa berkomunikasi dengan pesawat tempur peluncur.
Credit tempo.co