Kamis, 28 September 2017

'ARSA Hanya Jadi Pembenaran Myanmar untuk Persekusi Rohingya'


'ARSA Hanya Jadi Pembenaran Myanmar untuk Persekusi Rohingya' 
Organisasi kemanusiaan menyebut krisis kemanusiaan di Rakhine, Myanmar, bukan dipicu oleh kelompok bersenjata ARSA. (Reuters/Danish Siddiqui)


Jakarta, CB -- Organisasi kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyebut krisis kemanusiaan di Rakhine, Myanmar, bukan dipicu oleh kelompok bersenjata Pasukan Penyelamat Rohingya Arakan atau ARSA yang selama ini disalahkan oleh pemerintah setempat.

Salah satu ketua tim SOS ACT, Anca Rahadiansyah, mengatakan serangan terkoordinasi ARSA pada 25 Agustus lalu itu semata terjadi karena kelompok tersebut putus asa menanggapi kekerasan dan persekusi yang selama ini terjadi pada Muslim Rohingya.

"Mengenai isu ARSA, saya dapat informasi dari relawan lokal dan para pengungsi Rohingya saat bahwa ARSA memang ada tapi mereka bukan pemicu kerusuhan. Justru mereka yang menyerang pada 25 Agustus lalu itu melakukannya karena hopeless (putus asa) atas kekerasan yang dilakukan junta militer beberapa hari sebelumnya," kata Anca dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (27/9).


"Tapi serangan ARSA itu malah dijadikan pembenaran supaya junta militer bisa melakukan operasi pembersihan di Rakhine dengan menembaki dan membakar kampung-kampung Rohingya di sana."

Myanmar kembali menjadi sorotan setelah krisis kemanusiaan di Rakhine kembali mencuat sejak militer Myanmar melancarkan operasi pembersihan terhadap etnis Rohingya dengan alasan menumpas ARSA, 25 Agustus lalu.

Sejak itu pun militer mengerahkan operasi pembersihan untuk menangkap para pelaku penyerangan. Alih-alih menangkap kelompok bersenjata, militer Myanmar malah diduga menyiksa hingga membunuh warga Rohingya secara membabi-buta di Rakhine.

Sejumlah pemantauan menggunakan foto citra satelit dan laporan saksi mata yang dibuat beberapa kelompok pemerhati HAM seperti Amnesty International juga menunjukkan adanya pembakaran secara sengaja kampung-kampung Rohingya di wilayah itu.

Selain itu, gelombang pengungsi Rohingya yang terus berdatangan ke negara tetangga seperti Bangladesh pun, tutur Anca, menambah keyakinan bahwa ada kekerasan yang dilakukan secara sistematis oleh otoritas di sana.

"Ratusan ribu orang [Rohingya] rela sebrangi sungai Naf dan teluk Bengali secara bergelombang untuk sampai ke Bangladesh. saya rasa tidak mungkin hal ini hanya karena ARSA yang ganggu militer Myanmar," ujar Anca.

Sejak awal September, Anca bersama timnya telah bertolak ke Bangladesh untuk menyalurkan sejumlah bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya di perbatasan negara itu.

Selama di sana, Anca menuturkan, perbatasan tidak pernah sepi didatangi pengungsi Rohingya yang baru datang.

"Keadaan mereka lusuh dan lelah. Sebagian dari para pengungsi yang baru datang itu perempuan bahkan ada anak-anak hingga bayi yang baru lahir. Mereka berjalan untuk sampai perbatasan Bangladesh hingga belasan hari lamanya, bayangkan," kata Anca.

Dia mengatakan tenda dan tempat penampungan atau shelter menjadi hal yang saat ini paling dibutuhkan para pengungsi. Sebab, kamp-kamp penampungan sudah hampir terlalu penuh untuk menempatkan para pengungsi yang terus berdatangan.

ACT bahkan memprediksi Bangladesh telah menerima sekitar 1 juta pengungsi Rohingya sejak akhir Agustus lalu.


Credit  cnnindonesia.com


Militer Myanmar, Kekuatan di Luar Kendali Suu Kyi


Militer Myanmar, Kekuatan di Luar Kendali Suu Kyi 
Panglima Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing mempunyai peran penting dalam pemerintahan Myanmar. (Reuters/Hla Hla Htay)


Jakarta, CB -- Penasihat Negara Aung San Suu Kyi tengah menjadi pusat kritik dan kecaman akibat krisis kemanusiaan yang menimpa masyarakat Rohingya. Namun, pemimpin de facto Myanmar itu bisa dikatakan memang tidak mempunyai kuasa penuh di negaranya.

Sejumlah analis secara spesifik menyebut Suu Kyi tidak bisa mengendalikan kekuatan militer yang melakukan operasi brutal terhadap etnis minoritas Muslim tersebut. Sejak 25 Agustus, diperkirakan sudah ada 1.000 orang yang tewas akibat persekusi oleh tentara Myanmar.

Junta militer, kekuatan yang menguasai negara itu dengan tangan besi sejak 1962 hingga 2011 lalu, masih menguasai pasukan keamanan, kepolisian dan posisi kunci dalam kambinet pemerintahan. Suu Kyi yang pernah menjadi tahanan politik di masa-masa kelam itu pun kini tidak bisa apa-apa untuk mengubahnya.


"Di bawah Konstitusi, panglima (angkatan bersenjata Myanmar) adalah bos bagi dirinya sendiri, dia tidak melapor pada Aung San Suu Kyi. Dia tidak bisa dipecat," kata Aaron Connelly, peneliti Program Asia Timur di Institut Lowy, Sydney.

"Jika militer mesti memilih antara kekuasaan atau hormat internasional, mereka akan memilih kekuasaan. Pertanyaannya adalah seberapa banyak mereka mau mengalah. Kita belum pernah melihat bukti mereka mau mengalah lebih banyak dari apa yang mereka relakan dalam konstitusi 2008," ujarnya, Jumat (22/9).

Sejak 25 Agustus, ketika kelompok bersenjata Rohingya disebut pemerintah menyerang sejumlah pos polisi dan sebuah pangkalan militer, angkatan bersenjata Myanmar memulai "operasi pembersihan" yang mengincar masyarakat Rohingya.


Selain memakan banyak korban jiwa, operasi itu juga memaksa lebih dari 400 ribu orang mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh. Mereka yang berhasil melarikan diri menyebut rumahnya dibakar dan bercerita soal sanak keluarga yang menghilang entah ke mana.

Masih Berkuasa

Sebagaimana dirangkum CNN, pada 2008, konstitusi baru mengalokasikan seperempat kursi parlemen untuk militer. Reformasi konstitusi itu adalah cara mereka untuk mempermudah langkah Myanmar kembali dari perasingan di masyarakat internasional.

Selain itu, mereka juga melakukan sejumlah langkah lain, termasuk mengembalikan pemerintahan sipil dan membebaskan Suu Kyi dipenjara karena menentang pemerintahan junta. Namun, dalam konstitusi baru itu, militer masih dimungkinkan untuk bergeliat ketika kekuasaannya terasa diancam.

Di antara dekrit dalam dokumen itu adalah syarat yang tidak memungkinkan warga dengan dua kewarganegaraan untuk menjadi presiden. Karena mendiang suami dan kedua putra Suu Kyi yang kini sudah dewasa menyandang status warga negara Inggris, dia tidak bisa maju sebagai presiden.

Walau demikian, dia bisa memainkan peran besar dalam posisi yang sengaja dibuat untuknya, Penasihat Negara. Dalam pemilihan umum 2015, dia mengatakan "saya akan berada di atas presiden" jika partainya menang.

Sementara itu, dalam Konstitusi, peran Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar kerap tumpang tindih dengan Presiden. Selain memungkinkan Panglima untuk menominasikan kandidat militer untuk menempati kedua kamar parlemen, Konstitusi juga memperbolehkannya untuk "mengambil alih dan menerapkan kekuatan kedaulatan negara" dalam keadaan darurat.

Konstitusi juga melarang hukum "retrospektif." Peraturan itu berarti militer tidak bisa didakwa karena kejahatan yang sudah lalu, termasuk menjebloskan Suu Kyi ke tahanan rumah dan mengingkari pemilu 1990 yang sebenarnya bisa secara efektif melucuti kekuatan para jenderal.

Saat berpidato di hadapan diplomat di Myanmar, 19 September lalu, Suu Kyi menegaskan bahwa pemerintahannya masih muda dan upaya untuk menegakkan demokrasi masih seumur jagung.


"Setelah separuh abad atau lebih di bawah kekuasaan otoriter, sekarang kita berada dalam proses mengasuh negara kita," ujarnya. "Kita adalah negara yang muda dan rapuh dihadapkan pada banyak masalah, tapi kita harus bisa bertahan. Kita tidak bisa hanya berkonsentrasi pada beberapa hal saja."

Advokat pemenang penghargaan Nobel ini mesti bertahan dihadapkan pada kemarahan dan kecaman atas kekejaman terhadap Rohingya. Sementara itu, hari-hari Panglima Jenderal Senior Min Aung Hlaing justru berlangsung seperti biasanya.

Sementara Suu Kyi memilih untuk membatalkan pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa demi menyelesaikan permasalahan di dalam negeri, Min Aung Hlaing justru menjamu diplomat asing, berbicara pada audiensi militer dan menerima bantuan kemanusiaan untuk korban "kekacauan" yang dipicu kelompok bersenjata Rohingya.


Credit  cnnindonesia.com