Kamis, 28 September 2017

Referendum, Warga Kurdi Pilih Merdeka dari Irak



Referendum, Warga Kurdi Pilih Merdeka dari Irak
Warga Kurdi Irak mengibarkan bendera dan bergembira setelah hasil referendum mendukung kemerdekaan penuh dari Irak. Foto/Istimewa



BAGHDAD - Warga yang tinggal di Irak utara mendukung kemerdekaan untuk Wilayah Kurdistan dalam referendum kontroversial hari Senin. Komisi pemilihan mengatakan 92% dari 3,3 juta orang Kurdi dan non-Kurdi yang memberikan suara mereka mendukung pemisahan diri.

Pengumuman hasil referendum tersebut tetap diumumkan meski ada seruan terakhir agar hasilnya "dibatalkan" dari perdana menteri Irak. Haider al-Abadi mendesak orang Kurdi untuk melakukan dialog dengan Baghdad "dalam kerangka konstitusi".

Pemimpin Kurdi mengatakan suara "Ya" akan memberi mereka mandat untuk memulai negosiasi pemisahan diri dengan pemerintah pusat di Baghdad dan negara-negara tetangga seperti dikutip dari BBC, Kamis (28/9/2017).

Sementara itu, parlemen Irak meminta perdana menteri untuk mengerahkan tentara ke wilayah Kirkuk yang kaya minyak dan daerah-daerah sengketa lainnya yang dipegang oleh pasukan Kurdi.

Pejuang Peshmerga Kurdi menguasai Kirkuk, sebuah wilayah multi-etnis yang diklaim oleh pemerintah pusat Kurdi dan pemerintah pimpinan Arab, ketika militan jihad dari negara Islam disebut (ISIS) menyapu seluruh Irak utara pada tahun 2014 dan tentara Irak ambruk.

Referendum tersebut diadakan di tiga provinsi Irak yang membentuk Wilayah Kurdistan, dan juga "wilayah Kurdistan di luar wilayah administrasi".

Pejabat komisi pemilihan mengatakan pada sebuah konferensi pers di Irbil pada hari Rabu sore bahwa 2.861.000 orang telah memilih "ya" untuk merdeka dan 224.000 telah memilih "tidak". Jumlah pemilih adalah 72,61% di antara yang berhak memilih.

Dalam sebuah pidato di parlemen sebelum diumumkan, Abadi bersikeras bahwa dia "tidak akan pernah berdialog" mengenai hasil referendum dengan Pemerintah Daerah Kurdistan (KRG).

Pemungutan suara tersebut ditentang keras oleh Baghdad dan sebagian besar masyarakat internasional. Mereka mengungkapkan keprihatinan tentang efeknys yang berpotensi mendestabilisasi, terutama dalam pertempuran melawan ISIS.

Abadi mengatakan bahwa prioritasnya sekarang adalah untuk "melestarikan keamanan warga negara" dan berjanji untuk "membela warga Kurdi di dalam atau di luar" Wilayah Kurdistan.

"Kami akan memberlakukan peraturan Irak di semua distrik di wilayah tersebut dengan kekuatan konstitusi," tambahnya. 

Perdana menteri juga menegaskan kembali ancamannya untuk mencegah penerbangan internasional langsung ke Wilayah Kurdistan jika Baghdad tidak diberi kendali atas bandara Irbil dan Sulaimaniya pada hari Jumat sore.

Terkait hal itu, Menteri transportasi KRG mengatakan bahwa dia mencari klarifikasi dari Baghdad.

"Kami tidak mengerti bagaimana memberi mereka dua bandara. Mereka sudah tunduk pada Otoritas Penerbangan Sipil Irak," kata Mowlud Murad kepada wartawan.

Amerika Serikat (AS), yang "sangat kecewa" bahwa referendum diadakan, juga mempertanyakan ancaman Abadi untuk melarang penerbangan internasional.

Juru bicara departemen luar negeri Heather Nauert mengatakan pada hari Selasa bahwa tindakan semacam itu "tidak akan menjadi contoh keterlibatan secara konstruktif".

Sementara itu, Middle East Airlines Lebanon dan EgyptAir memperingatkan pelanggan bahwa mereka akan menghentikan penerbangan ke Irbil dari Jumat sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Abadi juga menuntut kontrol semua penyeberangan dan pendapatan minyak.

Suku Kurdi adalah kelompok etnis terbesar keempat di Timur Tengah namun mereka tidak pernah mendapatkan negara dengan status tetap.

Di Irak, di mana mereka membentuk sekitar 15% sampai 20% dari populasi 37 juta orang, Kurdi menghadapi penindasan selama bertahun-tahun sebelum memperoleh otonomi pada tahun 1991.



Credit  sindonews.com