Israel dinilai melanggar kesepakatan internasional.
CB,
TEPI BARAT -- Organisasi Kerja Sama Islam (OIC) pada Sabtu (2/2)
mengutuk keputusan Israel untuk menghentikan mandat pemantau
internasional di Kota Al-Khalil (Hebron) di Tepi Barat Sungai Jordan.
Di dalam satu pernyataan, kelompok pan-Muslim tersebut mengatakan
keputusan Israel itu adalah "pelanggaran terhadap kesepakatan
internasional". Pada Senin (28/1), Perdana Menteri Israel Benjamin
Netanyahu mengumumkan Israel takkan memperbarui mandat Kehadiran
Sementara Internasional di Hebron (TIPH), yang pertama kali dikirim ke
Al-Khalil pada 1994.
OIC menyeru masyarakat internasional
agar mempertahankan mandat TIPH dan memberi perlindungan buat rakyat
Palestina dengan pandangan "untuk membatasi agresi dan pelanggaran
Israel", demikian dilaporkan Kantor Berita Turki,
Anadolu.
TIPH
yang terdiri atas 64 pengamat internasional dari Norwegia, Denmark,
Swedia, Swiss, Italia dan Turki dibentuk berdasarkan Resolusi 904 Dewan
Keamanan PBB. Resolusi itu disahkan setelah pembantaian di Masjid
Ibrahim di Al-Khalil 1994, ketika ekstremis Yahudi Baruch Goldstein
membantai 29 orang Palestina yang sedang shalat.
Al-Khalil
saat ini menjadi tempat tinggal sebanyak 160 ribu Muslim Palestina dan
sebanyak 500 pemukim Yahudi. Mereka tinggal di sejumlah daerah kantong
khusus buat orang Yahudi yang dijaga ketat oleh tentara Israel.
Sebelumnya,
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan dalam satu taklimat bahwa
apa yang mendorong Israel untuk bertindak sebagai negara di atas hukum
ialah dukungan Pemerintah Amerika Serikat.
"Apa yang
mendorong Israel untuk bertindak sebagai negara di atas hukum ialah
dukungan Pemerintah AS dan biasnya buat pendudukan (Israel). AS mengakui
Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan besar AS
untuk Israel dalam pelanggaran terhadap resolusi sah internasional,"
kata presiden Palestina tersebut dalam taklimat gabungan di Ramallah,
Tepi Barat Sungai Jordan, bersama Presiden Malta Marie-Louse Coleiro
Preca --yang sedang berkunjung.
Selama taklimat itu,
Presiden Abbas menyerukan diluncurkannya konferensi perdamaian
internasional dan pembentukan satu mekanisme banyak pihak untuk membawa
kemajuan. Ia mengatakan Uni Eropa (UE) dan anggota Dewan Keamanan PBB
mesti memiliki peran penting dalam mekanisme itu, "dan menjamin
kebebasan serta kemerdekaan rakyat Palestina di negara mereka, dengan
Al-Quds (Yerusalem) Timur sebagai ibu kotanya, berdampingan dengan
Negara Israel dalam suasana aman dan hidup bertetangga yang baik".