Kamis, 02 Februari 2017

Kebijakan Imigrasi Trump Diprotes 900 Diplomat AS


 
Kebijakan Imigrasi Trump Diprotes 900 Diplomat AS  
Aksi demonstrasi di bandara Amerika Serikat menentang perintah eksekutif Presiden Donald Trump mengenai aturan imigrasi. (Reuters/Patrick T. Fallon)
 
Jakarta, CB -- Setidaknya 900 diplomat Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat memprotes perintah eksekutif Presiden Donald Trump yang berisikan larangan masuk bagi warga tujuh negara mayoritas Muslim. Protes ini tertuang pada memo "perbedaan pendapat."

Memo itu berisikan peringatan bahwa kebijakan imigrasi Trump tersebut tidak akan bisa menjaga Amerika dari bahaya terorisme. Memo protes ini juga menegaskan bahwa perintah eksekutif Trump tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar konstitusional Amerika.

"Melihat tidak adanya aksi teror yang dilakukan warga asal Suriah, Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman setelah mereka memegang visa AS, larangan imigrasi ini akan berdampak kecil dalam meningkatkan keselamatan publik Amerika," bunyi memo tersebut seperti dikutip CNN, Rabu (1/2).

Memo itu telah ditandatangani para diplomat dan akan ditujukan pada pejabat tinggi eksekutif.

Pesan itu juga menegaskan bahwa aturan imigrasi ini hanya akan meningkatkan sentimen anti-Amerika, khususnya pada negara yang masuk dalam daftar larangan imigrasi Trump. Hal ini justru semakin membahayakan AS.

Dalam memo dituliskan, sepertiga dari populasi gabungan di tujuh negara tersebut adalah anak-anak di bawah umur 15 tahun. Jika AS terus bersikap keras serta mengasingkan negara-negara ini, bukan tidak mungkin bahwa persepsi anak-anak di tujuh negara tersebut terhadap AS akan diselimuti oleh larangan dan perbedaan sikap ini.

"Hal tersebut dinilai bisa membangun persepsi yang salah terhadap AS, yang justru bisa meningkatkan sentimen kebencian pada Amerika dan juga radikalisme," bunyi memo tersebut.

"Dengan mengasingkan mereka [tujuh negara tersebut], AS kehilangan akses intelijen dan sumber daya [yang diperlukan] utuk melawan akar penyebab teror global," 

Memo "perbedaan pendapat ini" sengaja dibuat sebagai salah satu sarana pejabat Kemlu AS untuk bisa menuangkan pandangan alternatif terhadap kebijakan luar negeri.

Juru Bicara Kemlu AS Mark Toner sadar akan pembuatan memo protes ini dan menyatakan, memo itu adalah sarana resmi bagi karyawan Kemlu yang hendak menyampaikan perspektif alternatif pada isu yang berhubungan dengan kebijakan luar negeri negara.

"Proses ini penting menunjukkan bahwa menteri dan sesama karyawan Kemlu merupakan satu kesatuan yang saling menghargai. [Memo protes] ini memungkinkan karyawan Kemlu bisa mengekspresikan pandangan mereka yang berbeda pada pemimpin senior mereka," ungkap Toner.

Menurutnya, kebijakan imigrasi ini bisa langsung merenggangkan hubungan AS dengan negara-negara yang selama ini merupakan sekutu penting Washington dalam memerangi terorisme global.

Memo perbedaan pendapat ini pertama kali dibentuk dan digunakaan pada 1960, saat Perang Vietnam berlangsung. Saat itu memo perbedaan pendapat digunakan untuk memastikan Kemlu juga memiliki suara dalam mengutarakan pandangan alternatif mereka mengenai kebijakan perang Amerika.

Pada 2016 lalu, langkah seperti ini juga dilakukan saat sekitar 50 diplomat AS mengajukan perbedaan pendapat mereka yang menentang "kelambanan peran AS di Suriah."

Menanggapi hal ini, Sekretaris Pers Gedung Putih, Sean Spicer hanya memberikan dua pilihan bagi ratusan diplomat pemrotes itu. Spicer menutukan, para diplomat itu bisa bertahan dengan mendukung kebijakan eksekutif ini atau pergi meninggalkan jabatan mereka.

"Presiden Trump sudah memiliki visi yang sangat jelas. Sejak kampanye jelas-jelas presiden berjanji akan menempatkan keselamatan AS terlebih dahulu. Dan sekarang ia melaksanakan janji-janjinya," ujar Spicer.



Credit  CNN Indonesia