Senin, 27 Februari 2017

30.000 Pengacara Siap Bela Pemerintah Hadapi Freeport di Arbitrase

 
30.000 Pengacara Siap Bela Pemerintah Hadapi Freeport di Arbitrase  
Foto: Michael Agustinus/detikFinance


Jakarta - Para advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) siap membela pemerintah untuk menghadapi gugatan dari PT Freeport Indonesia di Arbitrase Internasional.

Pagi ini, para pengurus Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI menemui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, di Kantor Kementerian ESDM, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta.

Ketua Dewan Pembina PERADI, Otto Hasibuan, menyatakan 30.000 advokat anggota PERADI berdiri di belakang pemerintah, siap membela negara menghadapi PT Freeport Indonesia di Arbitrase Internasional

 

"Kami mewakili dari PERADI bersama seluruh advokat Indonesia, bertemu dengan Pak Menteri ESDM sehubungan dengan adanya persoalan antara pemerintah dengan Freeport. Kita punya anggota 30.000 orang yang bisa membackup," kata Otto saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (27/2/2017).

Otto menambahkan, PERADI akan dilibatkan dalam proses Arbitrase.

"Kami sebagai advokat ingin memberikan dukungan penuh kepada pemerintah dan akan juga melakukan aksi-aksi hukum. Bahkan tadi Pak Jonan mengatakan, di samping juga Arbitrase, beliau juga akan melibatkan kita dengan jaksa agung untuk proses-proses arbitrasenya," ujarnya.

Ia berpendapat, pemerintah tidak melanggar Kontrak Karya (KK) yang dipegang Freeport. KK tetap harus mengacu pada peraturan hukum di Indonesia.

"Kami juga merasa tersinggung juga secara moral, kok ada penekanan begitu oleh Freeport kepada pemerintah, dengan adanya ancaman-ancaman membawa Arbitrase dan sebagainya. Kami melihat sebenarnya di dalam perjanjian sendiri sebenarnya kan perjanjian itu disebutkan bahwa Freeport harus mengikuti peraturan pemerintah Indonesia dari waktu ke waktu. Artinya, meski perjanjian itu ada (KK), maka pemerintah kalau bikin aturan yang baru harus mengikuti. Jadi jangan dianggap peraturan yang dibuat pemerintah itu sebagai pelanggaran terhadap kontrak. Tidak," pungkasnya.

 

Sebagai informasi, Freeport kini sedang mengambil ancang-ancang untuk menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional.President and CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C Adkerson, menegaskan, Freeport bahwa tak dapat menerima Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari pemerintah dan akan mempertahankan hak-haknya di KK.

"Posisi kami adalah kami tidak dapat menerima IUPK dari pemerintah dengan melepas KK, kita tidak bisa melakukan itu," kata Richard.

Pihaknya dan pemerintah masih punya waktu selama 120 hari sejak 18 Februari 2017 untuk mencari win-win solution. Jika tak tercapai titik temu, Freeport dapat mengambil jalan Arbitrase.

"Ada waktu 120 hari dimana pemerintah dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Jika tidak dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan itu dengan pemerintah, Freeport dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan melalui Arbitrase," ujar Richard.


Credit   finance.detik.com

Asosiasi Pengacara Dukung Jonan Hadapi Arbitrase Freeport


Asosiasi Pengacara Dukung Jonan Hadapi Arbitrase Freeport 
 Foto: Michael Agustinus/detikFinance


Jakarta - Kelompok pengacara yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pagi ini menyambangi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, di Kantor Kementerian ESDM, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta.

Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI diterima Jonan di Gedung Heritage pada pukul 10.18 WIB. Otto Hasibuan, Ketua Dewan Pembina PERADI, ikut hadir dalam pertemuan ini.

Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir 1 jam itu, PERADI menyatakan dukungannya kepada pemerintah untuk menghadapi gugatan PT Freeport Indonesia ke Arbitrase Internasional.

"Kami dari DPN PERADI bertemu dengan Pak Menteri sehubungan dengan adanya masalah Freeport. Kami menyatakan dukungan dan siap membantu, kami yakin posisi pemerintah kuat," kata Otto usai pertemuan di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (27/2/2017).

 
Menurut Otto, Freeport telah melanggar hukum di Indonesia, termasuk melanggar Kontrak Karya (KK). Akan ada langkah hukum dari PERADI terhadap Freeport.

"Pelanggaran yang dilakukan Freeport sebenarnya lebih banyak. Kami akan melakukan legal action," tegasnya.

PERADI pun siap membela pemerintah jika Freeport benar-benar membawa masalah hingga ke Arbitrase.

"Beliau (Jonan) akan melibatkan kita dalam proses-proses Arbitrase," tutupnya.

Sebagai informasi, Freeport kini sedang mengambil ancang-ancang untuk menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional. President and CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C Adkerson, menegaskan, Freeport bahwa tak dapat menerima Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari pemerintah dan akan mempertahankan hak-haknya di KK.

"Posisi kami adalah kami tidak dapat menerima IUPK dari pemerintah dengan melepas KK, kita tidak bisa melakukan itu," kata Richard beberapa waktu lalu.

 

Pihaknya dan pemerintah masih punya waktu selama 120 hari sejak 18 Februari 2017 untuk mencari win-win solution. Jika tak tercapai titik temu, Freeport dapat mengambil jalan Arbitrase.

"Ada waktu 120 hari dimana pemerintah dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Jika tidak dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan itu dengan pemerintah, Freeport dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan melalui Arbitrase," tutur Richard.


Credit  finance.detik.com


Arcandra: Arbitrase Opsi Terakhir, Kami Siap Hadapi Freeport


Arcandra: Arbitrase Opsi Terakhir, Kami Siap Hadapi Freeport 
 Foto: Agung Pambudhy


Jakarta - Hubungan PT Freeport Indonesia dengan pemerintah memanas. Freeport mengancam akan menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional karena merasa hak-haknya dalam Kontrak Karya (KK) telah dilanggar.

Freeport telah menghentikan kegiatan operasi dan produksinya di Tambang Grasberg sejak 10 Februari 2017 lalu karena tak bisa mengekspor konsentrat tembaga. Para pekerja tambangnya di Mimika, Papua, yang berjumlah puluhan ribu sudah dirumahkan.

Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, menyatakan penyelesaian sengketa di Arbitrase Internasional adalah opsi terakhir bagi pemerintah dan Freeport, sebisa mungkin dihindari. Tapi kalau perundingan gagal, satu-satunya jalur penyelesaian adalah Arbitrase.

"Kalau seandainya kita enggak bersepakat, apa kita harus adu fisik? Enggak kan. Artinya apa, ada exit strategy. Mungkin the last itu ya Arbitrase," kata Arcandra, saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (21/2/2017).

Ia menegaskan, pemerintah siap menghadapi jika Freeport menggugat ke Arbitrase. "Pemerintah siap," katanya.

Arcandra menjelaskan, pemerintah telah memberikan jalan terbaik kepada Freeport. Yang dilakukan pemerintah sudah maksimal karena pemerintah juga terikat oleh Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Dalam pasal 170 Undang UU Minerba, pemegang KK diwajibkan melakukan pemurnian mineral dalam waktu 5 tahun sejak UU diterbitkan, alias 2014.
Pemerintah sudah berbaik hati dengan memberikan relaksasi selama 3 tahun hingga 11 Januari 2017 lewat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 (PP 1/2014), tapi Freeport tak juga membangun smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral).

Karena itulah, pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017), lalu menerbitkan IUPK dan izin ekspor untuk Freeport. Satu-satunya jalan agar Freeport dapat tetap mengekspor konsentrat adalah dengan mengubah KK menjadi IUPK, karena UU Minerba memungkinkannya. Namun Freeport menolak IUPK dan izin ekspor dari pemerintah.

Arcandra masih berharap Freeport mau menerima solusi yang ditawarkan oleh pemerintah. "Begini, kita cari jalan yang terbaik. Jalan terbaik tersebut tidak boleh melanggar UU, PP atau Permen. Tapi kalau jalan terbaik itu masih ada ruang enggak untuk kita melihat, iya kan? Itu yang sedang kita lakukan," tutupnya.



Credit  finance.detik.com


Bos Besar Freeport Ancam Gugat Pemerintah RI ke Arbitrase


Bos Besar Freeport Ancam Gugat Pemerintah RI ke Arbitrase  
Foto: Ari Saputra




Jakarta - PT Freeport Indonesia telah menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017 lalu. Para pekerja tambangnya di Mimika, Papua, yang berjumlah puluhan ribu sudah dirumahkan. Jika ini terus berlangsung perekonomian di Papua akan ikut goyang. Lebih dari 90% pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Mimika, sekitar 37% PAD Provinsi Papua berasal dari Freeport.

Puluhan ribu pekerjanya pun mengancam menduduki kantor-kantor pemerintah, bandara, dan pelabuhan kalau pemerintah tak segera memulihkan kegiatan produksi Freeport.

Pangkal masalahnya, Freeport membutuhkan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjangnya di Tambang Grasberg, Papua. Sedangkan pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral.

Pada 10 Februari 2017 lalu, pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi, dan produksi di Tambang Grasberg pasti terganggu.

IUPK bukan kontrak, posisi pemerintah sebagai pemberi izin jadi lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin. KK memposisikan pemerintah dan Freeport sebagai 2 pihak yang berkontrak dengan posisi setara. Ini adalah langkah pemerintah untuk memperkuat penguasan negara terhadap kekayaan alam.

Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).

Selain itu, pemegang IUPK juga diwajibkan melakukan divestasi hingga 51%. Freeport keberatan melepas saham hingga 51%, karena itu berarti kendali atas perusahaan bukan di tangan mereka lagi, saham mayoritas dipegang pihak lain.

Beredar informasi, Freeport kini sedang mengambil ancang-ancang untuk menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional.

President dan CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C Adkerson, melakukan konferensi pers di Hotel Fairmont, Jakarta, pada hari ini (20/2/2017) untuk menjelaskan duduk permasalahan. Ia menegaskan, Freeport tak dapat menerima IUPK.

"Posisi kami adalah kami tidak dapat menerima IUPK dari pemerintah dengan melepas KK, kita tidak bisa melakukan itu," kata Richard.

Bos Besar Freeport Ancam Gugat Pemerintah RI ke ArbitraseFoto: Ari Saputra


Pihaknya dan pemerintah masih punya waktu selama 120 hari sejak 18 Februari 2017 untuk mencari win-win solution. Jika tak tercapai titik temu, Freeport dapat mengambil jalan Arbitrase.

"Ada waktu 120 hari di mana pemerintah dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Jika tidak dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan itu dengan pemerintah, Freeport dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan melalui Arbitrase," ujar Richard.

 

Richard menambahkan, saat ini Freeport belum menggugat ke Arbitrase Internasional. 120 hari adalah proses ke Arbitrase. Jika masalah dapat terselesaikan dengan baik, pemerintah Indonesia dan Freeport tak perlu berhadapan di Arbitrase.

Sampai saat ini, Freeport masih berkomitmen mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. "Sekarang kita tidak melangkah ke Arbitrase, tapi lebih ke proses Arbitrase, 120 hari dari Jumat kemarin. Kita tidak akan mendikte pemerintah, tapi kami berkomitmen untuk bekerja sama," tutupnya.

Credit  finance.detik.com


Jonan: Freeport Sebaiknya Tidak Arbitrase, Tapi Kalau Mau Silakan


Jonan: Freeport Sebaiknya Tidak Arbitrase, Tapi Kalau Mau Silakan  
Foto: Eduardo Simorangkir


Jakarta - Pemerintah telah memberikan izin rekomendasi ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia. Namun Freport menolak berubah dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai syarat izin ekspor konsentrat tersebut.

Freeport menolak mengubah status jadi IUPK, lantaran tidak adanya jaminan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjang di Tambang Grasberg, Papua dalam IUPK tersebut.

Menteri ESDM, Ignasius Jonan, telah menyampaikan sikap tegasnya mengenai masalah ini. Menurutnya, pemerintah telah dan akan terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia, baik investasi asing maupun investasi dalam negeri, tanpa terkecuali.

Namun demikian, investor dalam melakukan investasi juga diharapkan mampu mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini Freeport sebagai investor diharapkan mampu bekerja sama dengan pemerintah, dan melakukan perundingan agar kedua belah pihak tetap diuntungkan.

"Kami bantu semaksimal mungkin seperti misalnya kalau ditanya Freeport, kami tetap bantu semaksimal yang kami bisa. Kami bantu, kami fasilitasi, apa yang diperjanjikan. Itu hak-haknya kita penuhi, sepanjang itu tidak bertentangan dengan peraturan atau perundangan yang berlaku," kata Jonan saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (20/2/2017).

"Kalau misalnya Freeport tidak puas, bagaimana? Kalau saran saya dirundingkan, kalau dirundingkan tidak puas, bisa arbitrase, dan itu kan memang hak di semua perjanjian KK itu ada arbitase dan lain-lain. Ini jalan terakhir walaupun saya tidak menyarankan ya. Karena ini kan investasi sebenarnya. Spiritnya kemitraan antara negara sebagai tuan rumah dan investor," ucapnya.

 

Namun demikian, Jonan mengaku lebih memilih untuk tak menghadapi gugatan yang dilayangkan hingga tingkat arbitrase tersebut.

"Kalau sampai arbitrase sebaiknya tidak. Tapi kalau ingin ditempuh ya silakan. Saya kira sih itu haknya PTFI dan sebagainya dan harus kita hadapi," pungkasnya.

 

Sebagai informasi, pada 10 Februari 2017 lalu, pemerintah telah menyodorkan IUPK kepada Freeport sebagai pengganti KK. Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg pasti terganggu.

IUPK sendiri bukan kontrak, dan posisi pemerintah sebagai pemberi izin jadi lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin. Sedangkan KK memposisikan pemerintah dan Freeport sebagai 2 pihak yang berkontrak dengan posisi setara. Ini adalah langkah pemerintah untuk memperkuat penguasan negara terhadap kekayaan alam.

Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).



Credit  finance.detik.com