Portal Berita Tentang Sains, Teknologi, Seni, Sosial, Budaya, Hankam dan Hal Menarik Lainnya
Jumat, 01 Februari 2019
Diktaktor menjadi negosiator, pencitraan Kim Jong-un setahun terakhir
Presiden Amerika Serikat Donald Trump
mengajungkan jempolnya ke arah Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dalam
pertemuan bersejarah mereka di Hotel Capella, Pulau Sentosa, Singapura
(12/6/2018). (Reuters)
Seseorang yang
oleh PBB disebut telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan telah
dideskripsikan sebagai orang yang cerdas, mencintai rakyatnya....
(CB) - Apa yang ada di benak Anda saat mendengar nama Kim
Jong-un? Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin tidak akan terlalu
terpengaruh dengan sosok pemimpin tertinggi Korea Utara itu.
Namun, bagi Kim Min-jae (21), mahasiswa tingkat akhir di suatu
universitas khusus laki-laki di Seoul, Korea Selatan, Kim Jong-un adalah
tokoh yang sudah dia kenal sejak masuk sekolah dasar.
Bagi Kim Min-Jae dan mayoritas generasi muda Korea Selatan lainnya,
Wangsa Kim di Utara merupakan sosok di balik bayang-bayang ancaman
perang dan rezim yang menyengsarakan rakyatnya demi ambisi pengembangan
senjata nuklir.
Akan tetapi, mahasiswa yang ditemui saat mengikuti tur universitasnya ke
Zona Demiliterisasi (DMZ) di perbatasan Korea Selatan-Korea Utara akhir
November 2018 itu mengatakan sosok Kim Jong-un berubah menjadi lebih
positif dalam setahun terakhir.
"Saya tahu bahwa Kim Jong-un memiliki iktikad baik untuk memperbaiki hubungan dengan kami (Korea Selatan)," kata dia.
Kim Min-jae menambahkan, progres yang ditunjukkan selama setahun
terakhir di 2018 oleh Presiden Moon Jae-in dan Kim Jong-un tampaknya
benar-benar akan menghasilkan suatu kesepakatan untuk perdamaian di
Semenanjung Korea.
Harapan tersebut disampaikan warga Seoul itu karena ia dan rakyat Korea
Selatan sudah lelah hidup di bawah kecemasan akan senjata nuklir dan
perang. Tercatat pada 2017, Korea Utara meluncurkan 23 rudal dalam 16
kali uji coba senjata nuklir.
Kim
Min-jae (21), mahasiswa tingkat akhir di suatu universitas khusus
laki-laki di Seoul, Korea Selatan, saat diwawancarai ANTARA di Zona
Demiliterisasi (DMZ) Korea Selatan (30/11/2018). (ANTARA News/Azizah
Fitriyanti)
Pandangan Kim Min-jae yang berubah itu juga didukung suatu survei
independen pada 2018 yang menunjukkan hampir 80 persen rakyat Korea
melihat Kim Jong-un sebagai sosok yang baik.
Kelompok pendukung Kim di Korea Selatan juga makin tumbuh sejak
pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin
Korea Utara Kim Jong-un di Singapura pada Juni 2018.
Peneliti senior Asan Institute yang berbasis di Seoul dan Washington DC,
Dr. James Kim, menyebutkan bahwa sebagian masyarakat Korea bahkan
menggambarkan pemimpin Korea Utara itu sebagai tokoh yang imut sekaligus
"macho".
"Jika Anda pergi ke Myeongdong, bukan tidak mungkin Anda akan menemukan
boneka figurin Kim," kata James Kim menyebut salah satu kawasan turis di
Seoul.
Presiden Trump pernah menyebut Kim Jong-un sebagai "rocket man"
saat ketegangan antara dua kedua meningkat setelah Kim meluncurkan
rudal jarak jauh Hwasong-15 pada November 2017 yang menjangkau hingga
Pulau Saipan, wilayah administrasi AS.
Namun, begitu pertemuan di Singapura terlaksana, sikap Trump berubah 180
derajat, dia memuji Kim sebagai sosok yang sangat terbuka dan pemimpin
yang luar biasa. Trump juga mengaku kagum pada pemimpin Korea Utara itu
atas cintanya kepada negerinya.
Padahal, di dalam negeri AS sendiri, negeri yang diancam akan
"dilumatkan" oleh Korea Utara, sosok Kim Jong-un masih seperti ayah (Kim
Jong-il) dan kakeknya (Kim Il-sung), yang dianggap sebagai diktator
yang melanggar HAM dengan penjara kerja paksa yang tidak manusiawi,
hukuman mati--bahkan pada anak-anak, hingga tuduhan bahwa ia sengaja
membiarkan rakyatnya mati kelaparan.
Namun, citra Kim yang negatif itu tanpa sadar dipoles oleh Trump menjadi lebih baik sejak pertemuan di Singapura Juni 2018 lalu.
Dr. James Kim dalam pertemuan dengan jurnalis Asia-Pasifik peserta
program Meridian International Center yang didanai Departemen Luar
Negeri AS, mengatakan bahwa sikap Trump yang kerap memuji Kim merupakan
taktik agar pemimpin Korea Utara itu mau duduk di meja perundingan.
Sementara itu, Kim mengambil kesempatan pada gaya kepemimpinan Trump
untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan pihaknya.
Presiden
Amerika Serikat Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un
meninggalkan tempat setelah menandatangani dokumen yang mengakui
kemajuan pembicaraan dan berjanji untuk menjaga momentum yang ada,
setelah pertemuan keduanya di Hotel Capella di Pulau Sentosa, Singapura,
Selasa (12/6/2018). (REUTERS/Jonathan Ernst)
Di luar harapan yang tinggi terhadap kelanjutan pertemuan itu, kini AS
dan Korut seperti menemui jalan buntu karena hingga akhir 2018, tidak
ada pertemuan tingkat teknis untuk membahas perundingan denuklirisasi.
Peneliti Senior Kajian Asia Timur The Heritage Foundation Bruce Klingner
mengatakan bahwa "pencitraan" Kim Jong-un oleh Trump menjadi blunder
bagi Deklarasi Sentosa yang ditandatangani di Singapura.
Menurut mantan agen CIA di Korea itu, pujian Trump mungkin memang telah
menjaga jalannya pertemuan tetap pada jalurnya, namun juga membuat
masyarakat internasional melunakkan tekanan pada pelanggaran HAM yang
terjadi di Korea Utara, serta mendorong legitimasi Kim di kancah dunia.
"Seseorang yang oleh PBB disebut telah melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan telah dideskripsikan (oleh Trump) sebagai orang yang cerdas,
mencintai rakyatnya, telah saling jatuh cinta," kata dia.
"Bahkan, Neville Chamberlain tidak menggambarkan Hitler mencintai
rakyatnya, sosok yang pintar, dan bahwa Neville jatuh cinta pada Adolf,"
lanjut Klingner mengacu pada mantan perdana menteri Inggris dan
kanselir serta pemimpin Nazi Jerman di masa Perang Dunia II.
Citra Kim yang bergeser positif itu, menurut Peneliti Senior Foundation
for Defense of Democracies Kolonel David Maxwell, merupakan buah pikiran
saudarinya, Kim Yo-jong, yang juga menjabat deputi direktur Departemen
Propaganda dan Agitasi Korea Utara.
Menurut mantan personel militer Angkatan Darat AS itu, dua bersaudara
Kim telah sukses dalam membalikkan seluruh asumsi tentang pemimpin Korea
Utara di mata dunia.
Dalam pertemuan dengan Presiden Moon Jae-in di desa gencatan senjata
Panmunjom pada Mei 2018, Kim juga dinilai berhasil menampilkan sosok
pemimpin yang pintar, ramah dan rendah hati.
"Sungguh mengesankan! Saya mengapresiasi rakyat Korea Selatan yang
mengatakan 'ini berbeda,' bahwa mereka berharap (pada pertemuan itu).
Semua orang menginginkan perdamaian dan berharap dia (Kim Jong-un) akan
berubah," kata Maxwell.
"Mungkin dia akan berubah, tapi saya pikir tidak," lanjut dia.
Di wilayah perbatasan Korea Selatan dan Utara itu, Kim menampakkan
kehangatan pada Moon, bagai seorang saudara yang kembali bertemu dengan
kerabatnya yang lama berpisah.
Presiden
Korea Selatan Moon Jae-in mengucapkan selamat tinggal kepada pemimpin
Korea Utara Kim Jong Un saat ia pergi meninggalkan konferensi tingkat
tinggi di desa gencatan senjata Panmunjom, Korea Utara, dalam foto yang
disiarkan oleh Istana Kepresidenan Blue House, Sabtu (26/5/2018). (The
Presidential Blue House/Handout via REUTERS)
Peneliti Senior bidang Korea dari Center for Strategic and Internasional
Studies (CSIS) yang berbasis di washington DC, Dr. Sue Mi Terry,
mengatakan citra Kim Jong-un terdongkrak oleh sikap Moon Jae-in yang
memposisikan Korea Selatan sebagai pengacara Korea Utara.
Berulang kali Presiden Moon berperan sebagai pembawa pesan Kim bagi
Trump dan sebaliknya, salah satunya yang disampaikan kepada media jelang
kunjungan ke Selandia Baru pada awal Desember 2018. Trump memintanya
menyampaikan pada Kim bahwa Trump memiliki pandangan yang bersahabat
dengan Kim dan menyukainya.
Dalam pesan via Moon itu, Trump juga berharap Kim dapat menaati semua
kesepakatan dari pertemuan Juni bersama-sama sehingga dia dapat membuat
Kim mendapatkan yang dia inginkan.
Strategi Korea Selatan adalah keluar dari retorika "fire and fury,"
istilah yang disebutkan Trump untuk menanggapi ketegangan yang
meningkat dengan Korea Utara pada 2017, yakni ancaman untuk membalas
dengan kekuatan yang besar yang berasal dari kemarahan.
"Karena itu saya memahami apa yang Presiden Moon coba lakukan, dia
membuat Korea Selatan percaya bahwa asalkan mereka memperbaiki hubungan
inter-Korea, maka situasi akan berubah. Kim akan melunak dan hadir dalam
berbagai pertemuan," kata dia.
Langkah Moon tersebut juga didukung Dewan Nasional Korea, lembaga
legislatif Korea Selatan, yang kini juga dikuasai partai yang kini duduk
di pemerintahan.
Ketua Dewan Nasional Korea Moon Hee-sang mengatakan Presiden Moon tengah
membuat kemajuan dalam memperbaiki hubungan dengan Korea Utara, dan
saat Kim Jong-un berkunjung ke Seoul untuk pertama kali, dia akan
disambut dengan hangat. Kim diharapkan hadir di Seoul pada akhir 2018
lalu, namun gagal memenuhinya dan hingga kini belum ada kepastian kapan
dia akan melaksanakan kunjungan itu.
Lebih lanjut, Terry memperingatkan jika tidak ada strategi yang jelas
untuk meraih hasil yang terukur, terutama dari pemerintah AS,
pertemuan-pertemuan itu hanya akan menjadi ajang pencitraan bagi Kim
yang tanpa sadar turut dipoles oleh Trump dan Kim.
"Dia (Kim) ingin diperlakukan seperti pemimpin yang normal dari sebuah
negara yang normal, dan Korea Selatan memberikan itu agar dia mau
melunak dan maju ke perundingan, meskipun saat ini saya tidak melihat
ada kesungguhan dari Korea Utara untuk menuju ke sana," kata dia.
Tampaknya, kesungguhan Kim untuk berubah menjadi negosiator, alih-alih
sekadar pencitraan, diuji pada awal tahun 2019 ini, saat pertemuan kedua
dengan Trump benar-benar terlaksana. Pertemuan yang diharapkan dapat
menghasilkan suatu perjanjian yang jelas serta terukur untuk
denuklirisasi dan peningkatan HAM di Korea Utara.