Kedua negara membicarakan kesepakatan jaringan pipa minyak sepanjang 1.700 km.
CB,
BAGHDAD -- Raja Yordania Abdullah II bertemu dengan Presiden Irak
Barham Saleh di Baghdad pada Senin (14/1). Itu merupakan kunjungan
perdana Raja Abdullah ke Irak selama lebih dari satu dekade terakhir.
Seperti dilaporkan laman
Al-Araby, dalam kunjungan tersebut,
Raja Abdullah dan Saleh membahas tentang hubungan bilateral kedua
negara, termasuk kerja sama yang hendak dijalin. Kesepakatan-kesepakatan
yang telah tercapai pada beberapa tahun lalu juga turut dibicarakan.
Salah
satunya adalah kesepakatan tentang pembangunan jaringan pipa minyak
sepanjang 1.700 kilometer yang menghubungkan Provinsi Basra dan
pelabuhan Aqaba di Yordania. Kesepakatan yang tercapai pada 2013 itu
sempat tak direalisasikan karena operasi ISIS di hampir sepertiga
wilayah Irak.
Tahun
lalu Yordania menyetujui kerangka kerja untuk menghidupkan kembali
kesepakatan tersebut. Namun Amman belum memberi ancang-ancang waktu
untuk pembangunan jalur pipa itu.
Selain itu, kedua negara
juga telah membahas rencana Irak memasok sekitar 300 megawatt listrik
dari Yordania untuk mengatasi kekurangan daya yang meluas di negara
tersebut. Saat ini Irak sangat bergantung pada Iran untuk pasokan
listrik.
Irak menerima suplai 1.300 megawatt listrik dan 28
juta meter kubik gas alam untuk keperluan pembangkit listrik dari Iran.
Amerika Serikat (AS) telah berusaha untuk memotong kerja sama tersebut.
Sebelum
Raja Abdullah, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga melakukan
kunjungan mendadak ke Baghdad pekan lalu. Seusai kunjungan itu, Menteri
Luar Negeri Iran Javad Zarif juga berkunjung ke negara tersebut.
Menteri
Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian juga berkunjung ke Irak di hari
yang sama dengan kedatangan Raja Abdullah. Le Drian melakukan pertemuan
dengan Perdana Menteri Irak Adel Abdel-Mahdi.
Fanar Haddad,
seorang ahli Irak dari the National University of Singapore's Middle
East Institute mengatakan, serangkaian kunjungan oleh pejabat-pejabat
luar negeri ke Irak menunjukkan bahwa negara itu memiliki peran penting
di kawasan.
“Dari Iran ke AS, Arab Saudi ke Turki, Suriah
ke Qatar, Irak dapat berbicara kepada semua orang di kawasan yang
sebaliknya sangat terpecah oleh beberapa celah strategis,” kata Haddad.
Kendati
demikian, menurutnya, keunggulan Irak di kawasan juga menempatkan
negara itu dalam risiko. Haddad berpendapat Irak rentan terhadap
perebutan kekuasaan regional.
“Salah satu ancaman
paling kuat terhadap stabililitas Irak hari ini adalah bahaya ketegangan
AS-Iran yang meningkat, dan dengan mengorbankan Irak,” ujarnya.