Konflik berkepanjangan menciptakan tingkat kelaparan yang parah.
CB,
WASHINGTON - Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, sekitar
56 juta orang membutuhkan bantuan pangan dan mata pencaharian yang
mendesak di delapan zona konflik di seluruh dunia. Laporan tersebut
dicatat oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Program Pangan
Dunia (WFP) untuk Dewan Keamanan PBB.
Menurut
laporan PBB itu, negara Yaman, Sudan Selatan, Afghanistan, Republik
Demokratik Kongo (DRC) dan Republik Afrika Tengah adalah lima zona
konflik yang paling mengalami kerawanan kekurangan pangan pada akhir
2018.
"Hubungan antara konflik dan kelaparan masih sangat kuat," kata laporan menegaskan seperti dikutip
Anadolu Agency, Selasa (29/1).
Resolusi
2417 Dewan Keamanan PBB adalah kecaman kelaparan yang jelas sebagai
alat perang. Hal itu berisi seruan bagi semua pihak dalam konflik
bersenjata untuk mematuhi kewajiban mereka di bawah Hukum Humaniter
Internasional guna meminimalkan dampak tindakan militer terhadap warga
sipil, termasuk pada produksi dan distribusi makanan, serta untuk akses
kemanusiaan dalam cara yang aman dan tepat waktu kepada warga sipil yang
membutuhkan makanan, bantuan nutrisi dan medis.
"Jutaan
pria, wanita, dan anak-anak yang kelaparan akibat konflik bersenjata
tidak akan berkurang kecuali dan sampai prinsip-prinsip dasar ini
dipatuhi," tulis laporan itu.
Tiga zona konflik lainnya
seperti Somalia, Suriah dan Danau Chad tercatat ada sedikit peningkatan
ketahanan pangan yang sejalan dengan peningkatan keamanan. Meski,
laporan tersebut mengatakan, terjadi kemunduran besar menyoal pangan
warga sipil selama awal 2019 di seluruh wilayah Danau Chad Basin.
Direktur
FAO Jose Graziano da Silva mengatakan, laporan PBB dengan jelas
menunjukkan dampak kekerasan bersenjata terhadap kehidupan dan mata
pencaharian jutaan pria, wanita, anak lelaki dan anak perempuan yang
terjebak dalam konflik.
Direktur Eksekutif WFP David
Beasley mendesak akses yang lebih baik dan lebih cepat di semua zona
konflik untuk menjangkau lebih banyak orang yang membutuhkan. "Tapi yang
paling dibutuhkan dunia adalah mengakhiri perang," kata Beasley.
Laporan
tersebut juga mengatakan, bahwa kekerasan terhadap pekerja kemanusiaan
meningkat. Sehingga memaksa organisasi-organisasi bantuan untuk menunda
operasi mereka dan menghilangkan populasi rentan bantuan kemanusiaan.
Meningkatnya
jumlah konflik berkepanjangan di dunia, menciptakan tingkat kelaparan
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perang tiga tahun di Yaman
merupakan demonstrasi nyata soal pentingnya menghentikan permusuhan
dalam mengatasi keadan darurat keamanan pangan terbesar di dunia.
Pihak-pihak
bertikai di Yaman, dalam sebuah laporan menyatakan mengabaikan
kesulitan dan bahaya dari status yang dilindungi fasilitas dan personel
kemanusiaan yang melakukan pekerjaan mencegah kelaparan.
Sementara
di DRC, meiliki jumlah tertinggi kedua yang sangat rawan kekurangan
pangan yang dipicu oleh konflik bersenjata. Di Sudan Selatan,
perselisihan sipil telah berlangsung selama lebih dari lima tahun.
Tekanan kekurangan pangan diperkirakan akan dimulai lebih awal dari
biasanya. Mereka membutuhkan dukungan mendesak hingga lebih dari 5 juta
antara Januari dan Maret 2019.
Di Afghanistan, persentase
penduduk pedesaan Afghanistan yang menghadapi defisit pangan akut
diproyeksikan mencapai 47 persen (atau 10,6 juta orang) pada Maret tahun
ini. Hal itu terjadi jika bantuan darurat yang menyelamatkan jiwa tidak
diberikan. Sementara Di Republik Afrika Tengah, konflik bersenjata
tetap menjadi pendorong utama kelaparan pada tahun 2018, dengan 1,9 juta
orang mengalami kekurangan pangan yang parah.