KINSHASA - Setidaknya 15 kuburan massal telah ditemukan di bagian barat laut Republik Demokratik Kongo setelah tiga hari pertumpahan darah antar etnis pada bulan Desember lalu. Demikian pernyataan juru bicara misi PBB di Kongo, MONUSCO.
Sebelumnya pada bulan Januari, PBB memperkirakan bahwa setidaknya 890 orang terbunuh sebagai akibat dari kekerasan, beberapa yang terburuk di daerah itu selama bertahun-tahun yang menyoroti keadaan genting hubungan antar-etnis bahkan di daerah yang lebih damai di negara Afrika Tengah itu.
Juru bicara MONUSCO, Florence Marchal mengatakan, sebuah misi khusus badan itu yang menyelidiki situasi pertempuran menemukan setidaknya 11 kuburan massal dan 43 kuburan individu di sekitar kota Yumbi dan setidaknya empat kuburan komunal yang berisi setidaknya 170 mayat yang berdekatan di Bongende.
Sebelumnya pada bulan Januari, PBB memperkirakan bahwa setidaknya 890 orang terbunuh sebagai akibat dari kekerasan, beberapa yang terburuk di daerah itu selama bertahun-tahun yang menyoroti keadaan genting hubungan antar-etnis bahkan di daerah yang lebih damai di negara Afrika Tengah itu.
Juru bicara MONUSCO, Florence Marchal mengatakan, sebuah misi khusus badan itu yang menyelidiki situasi pertempuran menemukan setidaknya 11 kuburan massal dan 43 kuburan individu di sekitar kota Yumbi dan setidaknya empat kuburan komunal yang berisi setidaknya 170 mayat yang berdekatan di Bongende.
"Sementara kesimpulan dari misi ini masih diselesaikan, kami dapat mengkonfirmasi bahwa beberapa ratus orang termasuk wanita dan banyak anak-anak terbunuh dalam keadaan yang tidak mengenaskan," ujarnya.
"Kecepatan, modus operandi dan tingginya angka kematian dari kekerasan ini menunjukkan bahwa peristiwa ini direncanakan dan dipikirkan terlebih dahulu sebelumnya," ungkapnya seperti dilansir dari Reuters, Rabu (30/1/2019).
Perselisihan terkait dengan pemakaman kepala suku dipandang sebagai katalis untuk pertempuran antara komunitas Banunu dan Batende. Ini menyebabkan pemerintah membatalkan pemungutan suara di daerah itu untuk pemilihan presiden bulan lalu.
Sementara pertumpahan darah itu tidak terkait langsung dengan pemungutan suara 30 Desember, seorang aktivis setempat mengatakan kepada Reuters pada saat itu ketegangan antara kedua kelompok etnis itu mereda karena para pemimpin Batende mendukung koalisi yang berkuasa sementara para pemimpin Banunu mendukung para kandidat oposisi.
Marchal mengatakan daerah itu sekarang relatif tenang, tetapi memperingatkan: "Ketegangan antara kedua komunitas masih sangat jelas dan berisiko memburuk."
Melindungi situasi keamanan Kongo yang rapuh akan menjadi salah satu tugas utama bagi Presiden Felix Tshisekedi, yang dilantik pada 24 Januari lalu dalam transfer kekuasaan pertama di Kongo melalui pemilihan umum dalam 59 tahun kemerdekaan negara itu.
Kongo tetap tidak stabil selama bertahun-tahun setelah berakhirnya perang regional 1998-2003 di perbatasan timur dengan Uganda, Rwanda dan Burundi yang menyebabkan jutaan kematian, sebagian besar karena kelaparan dan penyakit. Lusinan milisi terus membinasakan daerah-daerah itu.
Credit sindonews.com