Parlemen menolak draf Brexit yang diajukan
Perdana Menteri Theresa May, membawa negara tersebut ke dalam salah satu
krisis politik paling parah dalam sejarah. (Reuters TV via Reuters)
Reuters melaporkan bahwa pemungutan suara parlemen pada Selasa (15/11) berakhir dengan hasil 432-202, angka yang disebut-sebut sebagai simbol kekalahan terburuk pemerintah dalam sejarah modern Inggris.
Akibat kekalahan ini, kesepakatan Brexit kian tidak jelas, padahal undang-undang mengenai Inggris keluar dari Uni Eropa harus sudah rampung pada 29 Maret mendatang.
Dengan hasil ini, kesepakatan Brexit terancam gagal dan hasil referendum pada 2016 yang menyebabkan Inggris memutuskan untuk hengkang dari Uni Eropa pun di ambang kehancuran.
"Kesepakatan Brexit pada dasarnya sudah mati," ujar Anand Menon, profesor politik dan hubungan luar negeri Eropa dari King's College, London.
Sejak referendum tersebut, May mengajukan draf kesepakatan "halus", yaitu keluar dari Uni Eropa, tapi tetap menjalin hubungan ekonomi sedekat mungkin dengan blok tersebut.
Namun, para pendukung Brexit ingin Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apa pun, tuntutan yang dikhawatirkan para pebisnis dapat menghancurkan perekonomian.
Sejumlah pengamat pun menganggap hasil pemungutan suara kali ini sebagai puncak kebuntuan negosiasi Brexit.
"Uni Eropa dan pembuat kebijakan Inggris akan menganggap kesepakatan ini mati, maka Inggris tak akan memiliki kebijakan Brexit dan tak ada alternatif bagi kebijakan Inggris," ucap Menon.
Kini, ada serentetan opsi bagi May, di antaranya memutuskan keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan, nekat membuat perundingan dengan blok tersebut, menunda Brexit, referendum ulang, atau mengundurkan diri.
Credit cnnindonesia.com