Foto: Istimewa/Puspa Perwitasari
Jakarta - Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) yang beroperasi di Papua, yaitu PT Freeport Indonesia, sedang menghadapi masalah berat. Negosiasinya dengan pemerintah untuk kepastian usaha tengah buntu.
Chappy Hakim, Presiden Direktur Freeport Indonesia, mengatakan pihaknya tidak menyetujui usulan perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi. Klausul di dalam IUPK tidak sesuai dengan keinginan Freeport, karena memberikan ketidakpastian.
Sementara menurut Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017, IUPK menjadi syarat bagi Freeport untuk bisa mendapatkan izin ekspor sementara, dengan syarat membayar Bea Keluar (BK), itu pun dengan syarat dalam 5 tahun Freeport harus membangun smelter di dalam negeri.
Freeport memang belum menyetujui IUPK karena aturan pajak yang bisa berubah sewaktu-waktu. Tidak pasti seperti pada Kontrak Karya.
Foto: Wahyu Daniel
|
"Jadi kontrak harus menjadi izin (IUPK), apabila tidak menjadi izin tidak bisa ekspor," kata Chappy, dalam pertemuan dengan sejumlah Pemimpin Redaksi media massa, di ruang Bimasena, Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Senin malam (13/2/2017).
Pemerintah sendiri masih kukuh dengan aturan pajak yang berlaku pada IUPK ini.
Selain IUPK, Freeport juga tidak setuju dengan aturan kewajiban divestasi atau penjualan saham hingga 51%, seperti yang ada dalam PP No.1 Tahun 2017.
"Freeport tidak akan beri 51% karena bisa kehilangan pengendalinya," jelas Chappy.
Foto: Wahyu Daniel
|
Pihak Freeport berharap negosiasi dengan pemerintah bisa memunculkan solusi yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak. Memang sampai saat ini negosiasi masih buntu, dan Freeport menghadapi masalah berat, yaitu tidak bisa mengekspor konsentrat atau hasil tambangnya.
Chappy mengatakan, konsentrat yang ada saat ini sudah menumpuk di gudang dan penuh. Sehingga Freeport terpaksa menghentikan produksinya. Masalah belum selesai, smelter di Gresik yang menjadi tempat pengolahan konsentrat untuk menjadi barang jadi tengah dilanda aksi mogok karyawan.
Mogok kerja ini terjadi sejak 19 Januari 2017 karena masalah Perjanjian Kerja Sama antara pemilik smelter dengan karyawan. Freeport memiliki 25% saham di PT Smelting, selaku pengelola smelter di Gresik. Sisanya dimiliki oleh pihak Mitsubishi. Smelter di Gresik ini menyerap 40% dari hasil produksi Freeport, atau sekitar 1 juta ton konsentrat per tahun.
Karena aksi pemogokan ini, maka produksi konsentrat Freeport tak bisa terserap, gudang penuh, dan produksi terpaksa disetop. Produksi yang disetop ini membuat karyawan terancam berhenti bekerja.
Feeport juga tengah membangun smelter baru di Gresik untuk menyerap 2 juta ton konsentrat per tahun. Biaya yang siap dikeluarkan adalah Rp 30 triliun.
Saat ini saja, Chappy mengatakan, sudah ada 25 karyawan ekspatriat di tingkat senior supervisor untuk tambang bawah tanah yang dipulangkan, karena memang tambang bawah tanah sudah berhenti beroperasi akibat konsentrat yang menumpuk dan tidak bisa diekspor karena belum mendapatkan izin.
"Investasi underground (tambang bawah tanah) sudah kita setop karena belum ada kepastian (ekspor)," kata Chappy. Sejauh ini, Freeport sudah menginvestasikan sekitar US$ 7 miliar untuk pengembangan tambang bawah tanah ini.
Chappy mengatakan, pihaknya tidak mau sampai terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena penghentian produksi yang terjadi saat ini. Dia juga ingin kondisi di Papua tetap aman, meski ada gangguan produksi.
Pihak Freeport sangat berharap ada jalan keluar dari pemerintah di tengah situasi ini. Menurut catatan Freeport, dalam 10 tahun terakhir pemerintah Indonesia rata-rata mendapatkan pemasukan US$ 1,1 miliar/tahun dari usaha tambang Freeport, baik pajak maupun royalti tambang.
Credit finance.detik.com
Hadapi Masalah Berat, Freeport Berharap Smelter Gresik Beroperasi
Foto: Istimewa/Puspa Perwitasari
Jakarta - PT Freeport Indonesia sedang menghadapi masalah berat. Kegiatan operasi Freeport di Tambang Grasberg sudah mulai terganggu, karena belum bisa mengekspor konsentrat (mineral yang sudah diolah tetapi belum sampai tahap pemurnian) tembaga. Kapasitas penyimpanan gudang terbatas, stok konsentrat sudah terlalu banyak.
Kondisi ini diperparah dengan adanya pemogokan pekerja di smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral) milik PT Smelting Gresik, yang biasanya menyerap 40% produksi konsentrat dari Tambang Grasberg untuk menjadi barang jadi.
Mogok kerja terjadi sejak 19 Januari 2017, karena masalah Perjanjian Kerja Sama antara pemilik smelter dengan karyawan. Freeport memiliki 25% saham di PT Smelting Gresik, selaku pengelola smelter di Gresik. Sisanya dimiliki oleh Mitsubishi.
Terpaksa produksi konsentrat dihentikan sejak Jumat, 10 Februari 2017 lalu. Kegiatan operasi di Tambang Grasberg kini benar-benar berhenti.
VP Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, menyatakan pihaknya berharap smelter di Gresik dapat segera kembali beroperasi normal supaya Tambang Grasberg kembali beroperasi.
Jika smelter di Gresik beraktivitas normal, setidaknya 40% produksi konsentrat dapat terserap, artinya kegiatan operasi Tambang Grasberg juga dapat dipulihkan hingga 40%.
"Semoga smelter Gresik segera beroperasi sehingga kami dapat mengirim 40% konsentrat kami kembali," kata Riza kepada detikFinance, Selasa (14/2/2017).
Pihaknya juga masih berupaya mencari solusi dengan pemerintah agar bisa mengekspor konsentrat lagi. Pemangkasan produksi akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja, perekonomian di daerah penghasil tambang, dan sebagainya.
Sebagai informasi, pasca berakhirnya relaksasi ekspor konsentrat (mineral yang sudah diolah tetapi belum sampai tahap pemurnian) per 11 Januari 2017, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017), Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 (Permen ESDM 5/2016), dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2016 (Permen ESDM 6/2016).
Peraturan-peraturan baru tersebut diterbitkan agar hilirisasi mineral dapat tetap berjalan tanpa merugikan perusahaan-perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya (KK), perekonomian di daerah penghasil tambang pun tak terganggu.
Berdasarkan PP 1/2017, para pemegang KK harus mengubah kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi bila ingin tetap mendapat izin ekspor konsentrat. Bila tak mau mengganti KK-nya menjadi IUPK, mereka tak bisa mengekspor konsentrat. Prosedur untuk mengubah KK menjadi IUPK diatur dalam Permen ESDM 5/2017.
Pada 10 Februari 2017 lalu, Menteri ESDM, Ignasius Jonanm telah menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi untuk Freeport Indonesia.
Namun, Freeport belum mau menerima IUPK yang diberikan pemerintah. Sebab, IUPK yang diterbitkan pemerintah tidak memberikan jaminan stabilitas jangka panjang untuk investasi Freeport di Indonesia. Akibatnya, sampai sekarang izin ekspor konsentrat belum diberikan kepada Freeport.
Credit finance.detik.com