Foto: Istimewa/Puspa Perwitasari
Jakarta - Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia masih bernegosiasi soal perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bila dalam 6 bulan tidak menemui kesepakatan, maka Freeport akan membawa kasus ini ke Arbitrase Internasional.
Freeport telah menghentikan kegiatan operasi dan produksinya di Tambang Grasberg sejak 10 Februari 2017 lalu, karena tak bisa mengekspor konsentrat tembaga. Para pekerja tambangnya di Mimika, Papua, yang berjumlah puluhan ribu sudah dirumahkan.
Penyelesaian sengketa di Arbitrase Internasional adalah opsi terakhir bagi pemerintah dan Freeport, sebisa mungkin dihindari. Tapi kalau perundingan gagal, satu-satunya jalur penyelesaian adalah Arbitrase.
Bagaimana peluang Indonesia memenangkan perkara jika digugat Freeport ke Arbitrase?
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, berpendapat Indonesia punya cukup kuat dan punya peluang menang lebih besar ketimbang Freeport.
Sebab, Freeport telah melakukan banyak pelanggaran, di antaranya mengenai kewajiban divestasi dan pemurnian mineral. Dalam Kontrak Karya (KK) tahun 1991, Freeport wajib mendivestasikan saham hingga 51% kepada pihak Indonesia. Sampai detik ini, Freeport baru mendivestasikan 9,36% saham kepada pemerintah Indonesia.
"Kalau Freeport mengancam untuk membawa Indonesia ke Arbitrase, ini arbitrase yang mana? ICSID kah atau Commercial Arbitration yang diatur dalam KK? Kalau ke Commercial Arbitration, pemerintah pun punya hak untuk mengajukan Freeport. Freeport telah melakukan wanprestasi terkait masalah pemurnian (smelter) dan divestasi," kata Hikmahanto melalui pesan singkat kepada detikFinance, Rabu (22/2/2017).
Hikmahanto menambahkan, Indonesia punya rekam jejak bagus saat berhadapan dengan korporasi asing di Arbitrase, baik di ICSID maupun Commercial Arbitration.
Di ICSID misalnya, Indonesia pernah berhadapan dengan salah satu pemegang saham Bank Century, Hesham Al Waraqq, pada 2011 dan memenangkan perkara itu pada 2014. Indonesia juga pernah digugat oleh perusahaan tambang batu bara asal Inggris, Churcill Mining, pada 2012 dan dinyatakan menang pada 2016.
"Bagaimana track record Indonesia bila diajukan ke Arbitrase? Kalau ke ICSID kita menang di Century dan Churchill Mining," tutur Hikmahanto.
Sedangkan di Commercial Arbitration, pemerintah Indonesia pernah melawan Newmont, perusahaan tambang raksasa pemegang Kontrak Karya selain Freeport yang juga berasal dari Amerika Serikat. Hasilnya, Indonesia menang pada tahun 2009.
"Kalau ke Commercial Arbitration, kita menang ketika melawan Newmont terkait kewajiban Newmont untuk melakukan divestasi," paparnya.
Menurutnya, tidak ada pelanggaran KK seperti yang dituduhkan Freeport. Ia berpendapat, pemerintah justru berupaya mencarikan jalan terbaik buat Freeport. Dalam pasal 170 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), pemegang KK diwajibkan melakukan pemurnian mineral dalam waktu 5 tahun sejak UU diterbitkan, alias 2014.
KK tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku. Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan, perjanjian akan terlarang bila bertentangan dengan hukum. Jika KK tidak mewajibkan Freeport melakukan pemurnian, tapi UU Minerba mewajibkannya, ketentuan UU Minerba yang dijadikan pedoman.
Pemerintah sudah berbaik hati dengan memberikan relaksasi selama 3 tahun hingga 11 Januari 2017 lewat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 (PP 1/2014), tapi Freeport tak juga membangun smelter. Satu-satunya jalan agar Freeport dapat tetap mengekspor konsentrat adalah dengan mengubah KK menjadi IUPK karena UU Minerba memungkinkannya.
"Tidak ada pelanggaran KK. Justru pemerintah mau kasih jalan keluar buat pemegang KK seperti Freeport. Kalau mengikuti pasal 170 UU Minerba, kan mati Freeport. Pemerintah masih berbaik hati untuk kasih solusi," tegas Hikmahanto.
Pemerintah juga tidak memaksa Freeport untuk berubah menjadi IUPK, KK tidak diakhiri secara sepihak. "Kalau mau tetap memegang KK juga tidak masalah asal memperhatikan pasal 170 UU Minerba. Pemerintah kasih alternatif kok. Buktinya perusahaan tambang lain ada yang memilih untuk berubah jadi IUPK seperti Amman Mineral dan tetap memegang KK seperti Vale Indonesia," paparnya.
Solusi yang diberikan pemerintah, menurutnya, sudah maksimal yang bisa diberikan. Dengan kebijakan yang dibuat saat ini, pemerintah sebenarnya menanggung risiko besar. Akan ada pihak-pihak yang menganggap pemerintah berpihak pada kepentingan Freeport dengan masih mengizinkan ekspor.
"Pemerintah kan pada posisi yang tidak diuntungkan. Kalau dijalankan Pasal 170 UU Minerba maka akan ada kerugian. Kalau tidak dijalankan pasal 170 maka pemerintah dianggap oleh rakyatnya melanggar UU Minerba, yang notabene bisa saja Presiden di-impeach. Untuk itulah pemerintah memberikan solusi yaitu memberikan alternatif ke pemegang KK berubah menjadi IUPK," tutupnya.
Credit finance.detik.com