CB - Satelit Telkom 3S
sukses diluncurkan dari Bandar Antariksa Guyana di Kourou,
Guyana-Perancis, Rabu (15/2/2016) pagi waktu Jakarta. Kini, satelit itu
berada di orbit transfer. Secara bertahap, satelit akan dibawa ke orbit
geostasioner, menjalani uji di orbit, hingga akhirnya siap beroperasi
dua bulan mendatang.
Telkom 3S adalah satelit ke-18 dari Indonesia sejak satelit Palapa A1
diluncurkan pada 9 Juli 1976. Telkom 3S jadi satelit ke-9 milik PT
Telekomunikasi Indonesia (Telkom). Jika beroperasi April nanti, PT
Telkom mengoperasikan tiga satelit sekaligus, yaitu Telkom 1, Telkom 2,
dan Telkom 3S.Telkom 3S akan ditempatkan di orbit geostasioner pada ketinggian 35.736 kilometer di atas khatulistiwa Bumi, pada 118 derajat Bujur Timur (BT) atau di atas Selat Makassar. Sejak 2005, kapling itu ditempati satelit Telkom 2. Selanjutnya, Telkom 2 akan digeser ke posisi baru di timur Indonesia di atas Samudra Pasifik.
"Satelit Telkom 3S diluncurkan untuk mengoptimalkan izin satelit di kapling yang ada, sekaligus untuk ekspansi bisnis Telkom," kata Direktur Jaringan, Teknologi Informasi, dan Solusi PT Telkom Abdus Somad Arief, Jumat (3/2/2016), di Jakarta.
Optimalisasi itu diperlukan karena izin satelit untuk kapling 118 derajat BT dari Persatuan Telekomunikasi Internasional (ITU) untuk 36 transponder C-band dan 13 transponder Ku-band. Namun, Telkom 2 hanya punya 24 transponder C-band standar. Jika tak dipakai semua, izin itu bisa dicabut dan diserahkan ke negara lain yang mengantre.
Upaya memenuhi ketentuan ITU itu sudah dilakukan PT Telkom. Pada 6 Agustus 2012, satelit Telkom 3 diluncurkan dari Bandar Antariksa Baikonur, Kazakhstan. Namun, peluncuran gagal dan satelit tak mencapai orbit. Jadi, PT Telkom mengganti dengan Telkom 3S.
Untuk itu, Telkom 3S dirancang memiliki 24 transponder C-band standar, 8 transponder C-band extended, 4 transponder Ku-band standar, dan 6 transponder Ku-band extended. Karena transponder extended memiliki lebar pita frekuensi 1,5 kali lebih besar dari transponder standar, Telkom 3S mempunyai 49 transponder ekuivalen C-band standar.
Dengan tambahan 49 transponder, saat Telkom 3S beroperasi, PT Telkom mengelola 109 transponder dari tiga satelit. Itu menekan ketergantungan PT Telkom pada satelit asing. Sebelum ada Telkom 3S, PT Telkom memakai 60 transponder dari dua satelitnya dan menyewa 67 transponder dari satelit asing. "Tambahan transponder membuat layanan jasa satelit lebih cepat, murah, dan efisien," ucap Kepala Proyek Satelit Telkom 3S PT Telkom Tonda Priyanto.
Terlebih lagi, transponder Ku-band punya daya lebih besar, pita frekuensi lebih lebar, dan lebih sederhana dalam proses pengiriman sinyal. Jadi, layanan ke pelanggan, seperti untuk akses internet atau siaran televisi rumah tangga, bisa lebih masif.
Kelemahannya, transponder Ku-band lebih tak tahan hujan dibandingkan C-band. Namun, layanan internet pada kondisi itu bisa diandalkan.
Perkembangan teknologi
Satelit pertama yang dioperasikan PT Telkom ialah satelit Palapa A1
yang diluncurkan pada 9 Juli 1976, saat perusahaan itu bernama
Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel). Itu adalah satelit pertama
milik Indonesia sekaligus menjadikan Indonesia negara ketiga di dunia
yang punya satelit komunikasi domestik setelah Kanada dan Amerika Serikat.Ketua Asosiasi Satelit Indonesia Dani Indra Widjanarko mengatakan, selama lebih dari 40 tahun penggunaan satelit telekomunikasi domestik di Indonesia, fungsi satelit masih sama, sebagai media komunikasi jarak jauh. Sebagai negara kepulauan dengan banyak daerah terpencil, satelit jadi solusi menghubungkan semua area meski kini ada fiber optik.
"Bedanya, kapasitas transponder satelit jauh lebih besar," katanya. Palapa A1 hanya memiliki 12 transponder. Kini, satu satelit bisa memiliki 60 transponder. Peningkatan jumlah transponder itu disebabkan satelit masa kini bisa membawa generator listrik lebih besar untuk mencatu daya berbagai muatan, termasuk transponder.
Ke depan, transponder yang dibawa satelit bisa lebih banyak. Namun, kian banyak transponder akan membuat satelit makin berat sehingga biaya peluncurannya kian mahal. Dari aspek bisnis, hal itu tak efisien.
Di masa lalu, satelit harus berputar bak gasing agar stabil. Pola pergerakan itu membuat bentuk satelit selalu tabung dan antena berada di kepala satelit. Repotnya, bentuk tabung membuat dimensi satelit terbatas sehingga daya muat satelit lebih terbatas. "Sejak 1990-an mulai dikenalkan bentuk satelit kotak," kata Dani.
Satelit tak lagi berputar karena yang berputar adalah komponen kecil dalam satelit. Dimensi lebih besar membuat kapasitas satelit membesar dan banyak perangkat elektronik bisa dibawa. Bentuk itu membuat antena tak hanya bisa dipasang di kepala, tetapi juga di sisi timur dan barat satelit. Di sisi utara-selatan ada panel surya.
Selain itu, pengendalian satelit kini lebih banyak dengan sistem otomatis sehingga tak butuh banyak petugas pengendali. Berkembangnya teknologi digital membuat perlakuan sinyal lebih mudah karena suara, data, atau video diperlakukan sama sebagai data.
Hal lain yang menguntungkan ialah umur satelit makin panjang. Palapa A1 hanya berusia tujuh tahun. Kini, sejumlah satelit mampu beroperasi sampai 20 tahun. Pertambahan umur hidup satelit itu karena sistem dan teknologi pengendalian satelit makin baik dan tangki bahan bakar yang bisa dibawa satelit kian besar.
Namun, tantangan terbesar Indonesia adalah mampu membuat satelit secara mandiri. Meski sudah 18 satelit telekomunikasi dimiliki Indonesia, semuanya dibeli dari negara lain. Padahal, kebutuhan satelit Indonesia terus bertambah. Teknologi satelit bersifat terbuka, bisa dikuasai negara mana pun, tak setertutup teknologi roket.
"Indonesia mampu membuat satelit mandiri," kata Dani. Perekayasa Indonesia baru mampu membuat satelit mikro. Pembuatan satelit telekomunikasi amat mungkin dilakukan dan direncanakan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, tetapi itu butuh dukungan kuat pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan semua elemen bangsa.
Credit KOMPAS.com
Satelit Telkom 3S Sukses Mengangkasa, Tugas Arianespace Rampung
CB -
Peluncuran roket Ariane V yang membawa serta satelit Telkom 3S
berlangsung dengan sukses pada hari Selasa (14/2/2017) waktu setempat.
Proses tersebut melibatkan tiga pihak yakni Arianespace, Thales Alenia
Space, dan Telkom Indonesia.
Roket peluncur dengan misi VA235 diterbangkan dari Bandar Antariksa Guyana pada pukul 18.39 hari Selasa atau sekitar pukul 4.39 WIB dini hari Rabu di Indonesia. Tahap lepas landas, pemisahan dengan booster, pemisahan roket pendorong utama, hingga pelepasan penutup satelit berjalan sesuai dengan rencana.
Satelit Telkom 3S mendapat giliran kedua untuk dilepaskan dari roket pendorong setelah mencapai ketinggian 3.719 kilometer. Sebelumnya ada satelit SKYB-1 milik SKY Brazil yang bobotnya hampir dua kali lipat memisahkan diri.
Vice President Arianespace di Guyana-Perancis Bruno Gerard yang ditemui sehari sebelumnya mengatakan bahwa peran Arianespace sebagai perusahaan yang menyediakan jasa peluncuran sudah selesai. Arianespace bertugas mengintegrasikan satelit dari pembuatnya, dalam hal ini Thales Alenia Space, ke roket peluncur yang mereka bangun sendiri lalu memastikan agar bisa mengangkasa.
Begitu satelit Telkom 3S yang paling akhir tahapannya berpisah dengan roket pendorong untuk memulai lintasan elips demi mencapai orbit tujuan, Arianespace selesai tugasnya.
Kepala Proyek Satelit PT Telkom Indonesia Tonda Priyanto yang juga ditemui sebelumnya menerangkan bahwa tugas untuk memastikan satelit mencapai orbitnya di 118 derajat bujur timur ada pada Thales Alenia Space. Dengan kontrol dari stasiun bumi, mereka memastikan pendorong yang berbahan bakar hidrazin bisa meletakkan posisi satelit Telkom 3S ke jalur edarnya.
Proses tersebut diperkirakan rampung di bulan April. Begitu satelit sudah tiba di 118 derajat bujur timur dan seluruh peralatan dipastikan berfungsi, kendali sepenuhnya diserahkan ke Telkom.
Abdus Somad Arief , Direktur Network, IT and Solutions Telkom, menjelaskan Telkom 3S akan menggantikan tugas satelit Telkom 2 yang beredar di jalur yang sama.
Credit KOMPAS.com