Ilustrasi Pengadilan. (Pixabay/Succo)
Menurut laporan AFP, Kamis (23/2), kelompok pemerhati HAM
menyebut kasus ini menunjukkan bagaimana hukum 'karet' pencemaran nama
baik dan kejahatan siber membunuh jurnalisme investigatif di Thailand
sehingga sulit untuk mengungkap kesalahan di negara yang diliputi
korupsi.
|
Head hadir di pengadilan Phuket, Kamis, bersama salah satu dari
pensiunan tersebut, yakni Ian Rance. Sama-sama berkewarganegaraan
Inggris, dia juga menjadi terdakwa dalam kasus ini. Keduanya mengaku
tidak bersalah.
Pihak penuntutnya adalah Pratuan Thanarak, pengacara asal Phuket yang disertakan dalam laporan BBC tersebut.
Rance pensiun dan pergi ke Phuket pada 2001 lalu, menikahi seorang
perempuan lokal dan dikaruniai tiga orang anak. Dengan keluarganya, dia
membeli properti senilai $1,2 juta, atau setara Rp16 miliar.
Di bawah hukum Thailand, orang asing tidak boleh memiliki tanah.
Namun, banyak orang mengakali peraturan ini dengan cara membangun
propertinya afas nama perusahaan yang mereka miliki atau orang lokal
yang dipercaya.
Pada 2010, Rance menyadari istrinya telah memalsukan tanda tangan
untuk mencabut jabatannya sebagai direktur dan menjual properti itu atas
bantuan jaringan peminjam dana dan agen properti di pulau tersebut.
Dia dipenjara selama empat tahun karena terbukti bersalah dalam kasus penipuan ini.
Head melaporkan bahwa Pratuan, pengacara yang menuntutnya, mengaku
mengesahkan tanda tangan palsu Rance meski pria pensiunan itu tidak
hadir.
Credit CNN Indonesia