Rabu, 21 September 2016

Di PBB, Buruh Migran RI Serukan Penghentian Eksploitasi

 
Di PBB, Buruh Migran RI Serukan Penghentian Eksploitasi  
Ketua Aliansi Migran Internasional, Eni Lestari, menyerukan penghentian eksploitasi buruh dan perbaikan nasib buruh yang selama ini seakan terabaikan. (Dok. UN Media)
 
Jakarta, CB -- Ketua Aliansi Migran Internasional, Eni Lestari, memaparkan berbagai permasalahan yang dialami para buruh migran dalam sesi pembukaan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-71 di Amerika Serikat. Eni menyerukan penghentian eksploitasi buruh dan mendesak pemerintah untuk lebih memerhatikan nasib para buruh migran yang selama ini seakan terabaikan.

Pada KTT PBB yang berfokus pada pengungsi dan migran di New York pada Senin (19/9), Eni membuka pidatonya dengan menyoroti bahwa ia merupakan perwakilan pertama dari 244 juta buruh migran dunia yang akhirnya dapat menyampaikan aspirasi di mimbar PBB. "Setelah bertahun-tahun tak punya suara dan seakan tak terlihat, kami kini dapat menyuarakan pendapat," tutur Eni, seperti dalam pernyataan yang diterima CNN Indonesia.

Dalam pidato itu, Eni menceritakan impian masa kecilnya, yakni mengenyam pendidikan tinggi dan berkontribusi kepada masyarakat -- hal yang tak kunjung dapat diraih karena keterbatasan biaya. Ia kemudian memutuskan menjadi buruh migran demi menafkahi keluarganya.

"Seperti banyak [rekan buruh] lainnya, saya tidak memiliki pilihan lain selain bekerja di luar negeri sebagai pekerja domestik migran, sehingga keluarga saya bisa makan, terbebas dari utang, dan adik-adik saya bisa bersekolah," ujarnya.

Meski iming-iming upah besar, menjadi buruh migran bukan tanpa masalah. "Untuk sebagian besar migran, janji akan kehidupan lainnya seakan seperti sebuah kebohongan. Kami terjebak dalam lilitan utang, diperdagangkan menjadi budak, hak-hak kami dirampas, kami disiksa. Banyak yang menghilang dan bahkan tewas," tutur Eni.

Ia menegaskan bahwa keberadaan kaum buruh migran dan pengungsi sering kali terabaikan, meski turut memberikan kontribusi kepada negara. "Tak peduli seberapa keras kami bekerja, kami tidak akan pernah disebut sebagai pekerja, tak akan pernah dipandang sebagai manusia bermartabat dan sederajat," ujarnya.

Eni juga menyoroti bahwa buruh migran rentan terhadap praktik eksploitasi dan perdagangan manusia. "Impian kami berubah jadi mimpi buruk. Mimpi buruk yang dihasilkan dari sistem yang hanya mementingkan keuntungan bisnis dari migrasi dan mengizinkan perusahaan menekan upah. Masa depan kami buram," ujarnya.

"Kelemahan kami dieksploitasi, dan berbagai kebijakan migrasi memanfaatkan ketidakberdayaan kami. Kami dianggap ancaman terhadap keamanan, sementara kami bertranformasi menjadi industri yang menghasilkan pundi-pundi uang yang disebut 'kesempatan pembangunan' oleh beberapa negara," kata Eni.

Eni berharap aspirasi yang ia sampaikan dapat mendorong terciptanya kebijakan yang dapat mengubah kehidupan para buruh migran. "Mari ciptakan kebijakan nyata yang dapat diterapkan, dan memastikan bahwa kebijakan itu tidak akan memperdalam praktik eksploitasi, pemaksaan migrasi, konflik, dan kemiskinan," ujarnya.

Terkait dengan pidato Eni, Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) menyerukan agar pemerintah Indonesia harus semakin membuka diri, mendengarkan tuntutan migran, dan segera mengambil langkah strategis untuk memperbaiki permasalahan buruh migran Indonesia dengan memastikan sistem yang adil dan perlindungan yang kuat.

"Pesan singkat Eni Lestari telah mewakili suara dan tuntutan migran dunia seperti yang selama ini kami tuntut. Apa yang disampaikannya itu benar dan kami adalah saksi ketidakadilan, kekerasan dan eksploitasi yang kita lihat dan rasakan setiap hari," ungkap Koordinator JBMI, Sringatin dalam pernyataan bersama dengan Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia dan The Institute for National and Democratic Studies.




Credit  CNN Indonesia