Rabu, 07 September 2016

Dua Pertiga dari Total Senjata Inggris Dijual ke Timur Tengah

 
Dua Pertiga dari Total Senjata Inggris Dijual ke Timur Tengah  
Ilustrasi senjata (Thinkstock/Gsagi)
 
Jakarta, CB -- Inggris kini menjadi negara penjual senjata terbesar kedua di dunia, dengan dua pertiga total penjualan senjata negara itu dikirim ke negara-negara Timur Tengah yang berkonflik.

Menurut laporan lembaga nirlaba pemerhati HAM di Amerika Serikat, Freedom House, Inggris telah menjual senjata kepada 39 dari 51 negara berkonflik sejak 2010, dan ke 22 dari 30 negara yang termasuk dalam daftar negara pelanggar HAM yang disusun pemerintah Inggris.

Media Inggris, The Independent, melaporkan pada Senin (5/9) bahwa sekitar dua pertiga total senjata di Inggris selama satu periode terakhir dijual ke negara-negara di Timur Tengah, secara tidak langsung dianggap turut meningkatkan ancaman teror ke Inggris dan negara barat lainnya.

Sementara itu, statistik yang dikeluarkan oleh Dinas Perdagangan dan Investasi Inggris, lembaga yang mempromosikan aktivitas ekspor Inggris, menunjukkan bahwa Inggris menjual lebih banyak senjata ketimbang Rusia, China, Perancis, dan negara lainnya selama sepuluh tahun terakhir. Hanya Amerika Serikat yang mengungguli Inggris dalam ekspor senjata.

"Inggris menjadi salah satu negara tersukses dalam ekspor alat pertahanan, menempati urutan kedua dalam sepuluh tahun terakhir, membuat Inggris memimpin dalam aktivitas ekspor alat pertahanan di Eropa," menurut laporan yang dirilis pada musim panas ini.

Menteri, yang mengeluarkan izin ekspor senjata, mengatakan sistem saat ini kuat dan mereka telah mencabut izin untuk ekspor alat pertahanan sebelumnya untuk Rusia dan Ukraina.

Akan tetapi, pemerintah Inggris juga mengabaikan seruan untuk menghentikan penjualan senjata ke sejumlah rezim otoriter, seperti Arab Saudi yang dituduh melakukan kejahatan perang dalam operasi militer melawan militan Houthi di Yaman.

Baik Parlemen Eropa maupun Komite Pembangunan Internasional Majelis Rendah Inggris, sudah mengimbau agar ekspor ke negara-negara tersebut dihentikan, namun pemerintah Inggris mengelak dengan alasan belum ada bukti kejahatan dari perang yang diluncurkan Arab Saudi.

Padahal, koalisi serangan udara pimpinan Saudi dituding membombardir beberapa rumah sakit internasional yang dibiayai oleh lembaga amal Dokter Lintas Batas (MSF), sejumlah sekolah, dan yang teranyar, pesta pernikahan. Pabrik makanan juga menjadi sasaran serangan pengeboman, sehingga Yaman menghadapi krisis bahan pangan.

Kelompok pemerhati HAM melaporkan terdapat bukti bahwa koalisi pimpinan Saudi dengan sengaja menyerang masyarakat sipil dalam usaha mereka memberangus militan Houthi.

Aktivis dari Kampanye Anti Perdagangan Senjata, Andrew Smith mengingatkan, ketergantungan pemasukan Inggris dari ekspor senjata pada rezim-rezim diktator, cenderung membuat Inggris turut andil dalam kejahatan HAM.

"Data-data (penjualan senjata) yang mengerikan ini menunjukkan kemunafikan pada inti kebijakan luar negeri Inggris. Pemerintah selalu menyerukan dukungan terhadap HAM dan demokrasi, tapi mereka mempersenjatai dan mendukung beberapa rezim kediktatoran di dunia. Dampak dari penjualan senjata Inggris dapat dilihat secara nyata di Yaman, dimana jet tempur dan bom buatan Inggris menjadi pusat penghancuran yang dilakukan koalisi Arab Saudi," katanya.

"Rezim (diktator) ini tidak hanya membeli senjata, mereka juga membeli dukungan politik dan legitimasi. Bagaimana mungkin Inggris menindak pelanggaran HAM di negara-negara tersebut, saat Inggris mendapat keuntungan dari mereka?" ujar Smith.

"Tidak mungkin ada aturan pengendalian senjata di wilayah perang , dan tidak ada cara untuk mengetahui bagaimana senjata-senjata tersebut akan digunakan. Fakta mengenai banyaknya senjata yang dijual ke Rusia dan Libya merupakan peringatan bahwa umur penggunaan senjata itu sendiri lebih panjang dari pada jangka waktu pemerintah yang menjual itu berkuasa," tuturnya.

Terkait hal ini, juru bicara pemerintah Inggris mengatakan bahwa kontrol penggunaan senjata ekspor yang mereka terapkan cukup ketat.

"Pemerintah memberlakukan kontrol terhadap senjata ekspor mereka dengan sangat serius. Kami memeriksa setiap kemungkinan terjadinya pencaloan pada izin penggunaan senjata secara kasus per kasus, merujuk pada Kriteria Perizinan Ekspor Senjata yang disetujui oleh Konsolidasi Eropa dan Nasional," bunyi pernyatan pemerintah Inggris.

"Izin ekspor senjata mengharuskan kami untuk mempertimbangkan bagaimana peralatan tersebut akan digunakan oleh pemakai dan risiko pelanggaran hak asasi manusia merupakan bagian penting dari penilaian kami. Kami menyadari pendekatan ini sulit untuk diterapkan, namun jika ada korban dan membutuhkan tindakan lebih lanjut, kami mempunyai kuasa untuk melakukan tindakan dengan dasar hukum yang ada," bunyi pernyataan itu.



Credit  CNN Indonesia