Selasa, 27 September 2016

IDI Minta Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Diubah, Ini Alasannya

 
 
Fachri Fachrudin Badan Legislasi DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum bersama Ikatan Dokter Indonesia di Ruang rapat Badan Legislasi DPR, Jakarta, Selasa (27/9/2016). Rapat tersebut juga dihadiri oleh 120 orang sebagai perwakilan dari IDI di seluruh Indonesia.
 
JAKARTA, CB - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran segera diubah.
Hal itu disampaikan Wakil ketua IDI Daeng M Faqih dalam rapat dengar pendapat umum bersama Badan Legislasi DPR RI, Selasa (27/9/2016). Rapat tersebut juga dihadiri oleh 120 orang sebagai perwakilan IDI di seluruh Indonesia.
Faqih mengatakan, UU tersebut memasukan frasa "dokter layanan primer", sehingga menyebabkan kontroversi karena memunculkan jenis profesi baru dalam dunia kedokteran.
Menurut Faqih, dunia kedokteran internasional tidak mengenal gelar setara spesialis "dokter layanan primer".
"Layanan primer atau primary care adalah wilayah pelayanan. Tidak ada satu pun negara yang menyebutkan primary care physician sebagai gelar profesi khusus yang berpraktik di layanan primer," ujar Faqih di DPR, Jakarta, Selasa (27/9/2016).
"Dokter layanan primer adalah komunitas dokter yang memberikan pelayanan kesehatan pada fasilitas layanan primer yang meliputi dokter umum, dokter keluarga, dokter spesialis, dokter anak, dokter penyakit dalam, dan dokter psikiatri," kata dia.
Dengan demikian, lanjut Faqih, adanya UU tersebut juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal antar-dokter di pelayanan primer.
"Dan ini juga bepotensi mengkriminalisasi dokter umum yang menangani pasien," kata dia.
Selain itu, lanjut Faqih, tidak ada perbedaan signifikan terkait kompetensi dokter layanan primer (DLP) dengan kompetensi pendidikan dokter yang tercantum dalam standar kompetensi dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012 yang telah disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
"Kurikulum, standar pendidikan, dan gelar 'dokter layanan primer' belum memiliki kejelasan dan landasan formal, peraturan pemerintah, pengesahan kurikulum oleh KKI, peraturan menteri, dan belum ada kolegium DLP yang disahkan IDI" kata dia.
Faqih mengatakan, simulasi pelaksanaan program dokter layanan primer memerlukan waktu 30 hingga 50 tahun untuk men-DLP-kan dokter umum yang akan bekerja di layanan primer.
Itu belum termasuk 8.000 lulusan dokter per tahun yang terus dihasilkan.
"Dengan demikian, program ini tidak realistis, tidak signifikan, tidak efisien dan memboroskan anggaran negara," kata Faqih.





Credit  KOMPAS.com