Rabu, 06 Mei 2015

Australia Upayakan Kampanye Lawan Hukuman Mati di Asia

Eksekusi Myuran Sukumaran dan Andrew Chan jadi titik tolak.

Australia Upayakan Kampanye Lawan Hukuman Mati di Asia
Kendaraan lapis baja yang membawa dua terpidana mati Bali Nine tiba di pelabuhan feri untuk menuju lapas Nusakambangan, Cilacap, Rabu (04/03/2015). (REUTERS / Darren Whiteside)
 
  CB - Eksekusi mati terhadap duo gembong narkoba Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran menjadi momentum bagi Australia untuk menghapus hukuman mati. Namun, perjuangan itu ditafsirkan tidak konsisten, karena justru Australia pernah mendorong adanya eksekusi mati terhadap tiga orang yang menjadi otak di balik pengeboman Bali I tahun 2002 lalu.

BBC edisi Selasa, 5 Mei 2015 melansir, kampanye untuk mendorong penghapusan hukuman mati dimulai dari mantan Jaksa Agung, Philip Ruddock. Dia mengaku telah menulis surat kepada para diplomat lokal yang warganya terancam hukuman mati atau telah dieksekusi oleh Kejaksaan Agung RI pada tahun ini.

"(Saya menulis) untuk mengundang mereka agar bekerja bersama kami dalam kaitannya mengatasi isu ini," ujar Ruddock seperti dikutip stasiun berita ABC News.

Bahkan, dia menjelaskan secara terbuka, jika Negeri Kanguru berniat untuk memulai diskusi penghapusan hukuman mati, maka Australia harus memulainya dengan berbicara bersama Amerika Serikat.

"Jika negara maju di dunia tempat kita hidup masih mempertahankan hukuman mati, maka sangat sulit untuk berhadapan dengan negara lain seperti Iran, Tiongkok, Arab Saudi dan negara lain yang mengeksekusi dalam beberapa kasus ribuan orang," papar Ruddock.

Dia beralasan cara pencegahan terbesar kejahatan bukan dengan hukuman mati tetapi menahan pelaku. Bahkan, dalam penelitian yang dilakukan oleh para kriminolog, telah terbukti hukuman mati tak memiliki efek pencegahan.

Menurut Ruddock, bagian penting dari advokasi penghapusan hukuman mati yaitu memberi informasi kepada publik.

"Jika Anda ingin melakukan sesuatu mengenai tindak kriminal, maka Anda benar-benar membutuhkan agar publik tahu efektivitas penegakan hukum di negara Anda," kata Ruddock.

Oleh sebab itu, Ruddock mendorong agar Australia menjadikan isu ini sebagai isu utama dan bersiap berada di garda terdepan untuk melobi mengenai isu ini.

Selama ini, Australia diketahui memiliki sikap penolakan terhadap hukuman mati dan tak mengeksekusi siapa pun sejak tahun 1967 lalu. Namun, sikap itu terlihat tak konsisten ketika mantan Perdana Menteri John Howard pada 2007 lalu justru mengirimkan pesan dukungan agar eksekusi terhadap pelaku bom Bali Amrozi, Imam Samudera dan Mukhlas dipercepat.

"Gagasan bahwa kita akan memohon penangguhan eksekusi terhadap orang yang telah membunuh 88 warga Australia, adalah sesuatu yang tak menyenangkan bagi publik," kata Howard kala itu.

Respons publik pun sempat mendukung penuh jika ada warganya yang dieksekusi mati di negara lain. Berdasarkan sebuah survei di tahun 1986 lalu yang dilakukan oleh Lowy Institute for International Policy, mengungkapkan lebih dari 70 persen warga Australia meyakini hukuman mati terhadap warga Negeri Kanguru di luar negeri tetap harus dijalankan.

Tetapi, seiring dengan gencarnya pemberitaan media mengenai isu Chan dan Sukumaran, angka itu berubah. Direktur Survei Lowy Institute, Alex Oliver mengatakan sebanyak 62 persen publik tak ingin Chan dan Sukumaran dieksekusi. Bahkan, 70 persen warga Negeri Kanguru berpendapat hukuman mati tidak diberlakukan bagi pelaku tindak kejahatan narkoba.

Dalam survei di tahun 2010 lalu, Oliver menyebut hampir 60 persen warga Australia menginginkan adanya penghapusan hukuman mati di negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

"Dalam 35 tahun terakhir kami melihat adanya penguatan penolakan terhadap hukuman mati secara umum," ujar Oliver.

Namun, Oliver mengingatkan pendapat tersebut bisa saja berubah, tergantung siapa yang tengah menghadapi ancaman hukuman mati dan apa tindak kejahatan mereka.

Tuduhan kemunafikan

Sementara, pandangan yang tak konsisten mengenai hukuman mati justru memunculkan tuduhan hipokrit di kalangan publik. Setidaknya itu yang diungkap oleh pengajar senior di Fakultas Filsafat, Universitas Melbourne, Patrick Stokes.

"Sebagian besar orang tak menyukai hukuman mati dan sebagian lainnya mungkin berpikir ada orang yang seharusnya dijatuhi hukuman mati atau sebenarnya mereka tak terlalu peduli terhadap pemberlakukan hukuman mati di luar negeri atau mereka hanya tidak suka warga Australia dieksekusi di beberapa negara seperti Tiongkok, Malaysia atau Indonesia," papar Stokes.

Dia melanjutkan, bisa saja sebagian publik yang peduli terhadap warga Australia yang dieksekusi di beberapa negara tertentu tak peduli jika hukuman mati masih diberlakukan di tempat lain seperti AS, Jepang, Iran atau Arab Saudi. Stokes mengatakan sebagian besar orang masih belum memiliki posisi yang jelas kecuali reaksi yang terpencar mengenai beberapa kasus tertentu.

Direktur Eksekutif Lowy, Michael Fullilove, mengatakan, Negeri Kanguru sebaiknya berupaya lebih keras jika ingin membatalkan hukuman mati, ketimbang mengupayakan penangguhan vonis tersebut sementara waktu. Paling tidak dengan begitu, bisa melindungi Australia dari tuduhan kemunafikan hanya karena memohon untuk kasus tertentu.

Fullilove menyarankan jika mereka ingin menghapus hukuman mati maka Australia bisa memulainya dari kawasan Asia. Caranya, dengan  mengajak bekerja sama beberapa negara di kawasan tersebut yang telah menghapuskan hukuman itu seperti Kamboja, Nepal, Timor Timur, Bhutan dan Filipina.

Isu ini, ujar Fullilove, harus dijadikan prioritas. "Kita harus menjadi seorang pemimpin dalam gerakan internasional melawan hukuman mati," kata dia.

Credit   VIVA.co.id