Rabu, 11 Maret 2015

RI Gertak Balik Australia

Ini terkait pernyataan Menkopolhukam Tedjo Edhy. Apakah ini bijaksana?

RI Gertak Balik Australia
Presiden Joko Widodo Jokowi dan PM Australia Tony Abbott (REUTERS/Rob Griffith/Pool)
 
CB - Reaksi keras dipertontonkan pemerintah Australia menyikapi rencana eksekusi mati narapidana kasus narkoba yang kebetulan berkewarganegaraan negara itu. Ada dua warga Australia dari sepuluh napi yang akan dieksekusi tersebut.

Presiden Joko Widodo tak menanggapi lobi-lobi agar eksekusi dibatalkan. Tawaran barter tahanan yang dilontarkan Menlu Australia Julie Bishop ditanggapi dingin.

Lobi mentok, pernyataan bernada miring terlontar dari sejumlah pejabat teras negeri kanguru itu. Misalnya, mereka mengancam menghentikan hubungan perdagangan.

Bantuan kemanusiaan yang mereka berikan saat Aceh dilanda Tsunami pada 2004 juga mengemuka.

Pemerintah bersikukuh melaksanakan eksekusi mati meski mendapatkan tentangan keras itu. Menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, sampai Selasa, 10 Maret 2015, sebagian besar napi yang akan dieksekusi sudah dipindahkan dari Lapas asalnya ke Lapas Nusakambangan.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Tedjo Edhy Purdijatno, menegaskan, Indonesia tak gentar dengan ancaman tersebut.

Soal ancaman pemutusan hubungan dagang misalnya, hitung-hitungan pemerintah, justru Australia yang bakal kelimpungan bila itu terjadi.

"Justru Australia akan mendapatkan tekanan dari rakyatnya karena Indonesia pangsa pasar yang besar bagi Australia," ujarnya.

Menteti Tedjo justru melontarkan ancaman balik. Menurutnya, Indonesia bisa saja membuat Australia kepayahan menghadapi imigran gelap bila hubungan bilateral kedua negara rusak. Jika Canberra berulah, Jakarta dipastikan akan melepas imigran yang akan ke Australia itu.

"Yang kini ada di Indonesia saja ada lebih 10.000 orang," kata Tedjo. Jika mereka dilepas dan dibiarkan menuju Australia, dipastikan akan seperti tsunami manusia.

Kemesraan Terancam

Pengamat Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Dinna Wisnu, memprediksi isu eksekusi mati ini bisa saja membuat hubungan bilateral Australia dan Indonesia kian buruk.

Menurutnya, tekanan bisa saja justru semakin berat usai eksekusi mati dilaksanakan. Misalnya saja, penghentian bantuan kemanusiaan antara lain untuk program anti korupsi, pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan dan demokrasi.

"Penghentian bantuan kemanusiaan sesuai dengan kebijakan ekonomi pemerintah Liberal Australia yang memang ingin mengurangi pengeluaran untuk pelayanan publik dan bantuan sosial. Langkah ini sebaiknya diantisipasi oleh Presiden Joko Widodo," kata Dinna.

Menurutnya, dalam menjalin hubungan, Negeri Kanguru juga membutuhkan Indonesia. Sebab, antara kedua negara memiliki bantuan kerjasama anti-terorisme dan pemulangan manusia perahu pencari suaka.

"Sementara, dua bidang itu kini menjadi prioritas utama kampanye Perdana Menteri Tony Abbott. Kerugian itu, juga akan mempengaruhi kepentingan negara-negara mitra lain di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara," kata dia.

Oleh sebab itu, Dinna menyarankan untuk bisa mendamaikan kedua negara, ada baiknya, Indonesia dan Australia, menunjuk negara ketiga untuk menjadi mediator. Dia mengusulkan Amerika Serikat sebagai negara mediator untuk memperbaiki hubungan dua negara, seandainya jalinan hubungan itu memburuk akibat pelaksanaan eksekusi mati terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

"Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang hingga saat ini masih memberlakukan aturan hukuman mati sebagai solusi. AS juga memiliki kepentingan baik terhadap Australia dan Indonesia," terang Dinna

Jokowi Disadap?


Isu penyadapan terhadap Jokowi saat pemilihan presiden 2014 menambah panas. Informasi penyadapan pertama kali diungkap oleh media Selandia Baru, New Zealand Herald dan Radio Selandia Baru.

Di situ mereka menulis, kedua badan intelijen, GCSB (Badan Intelijen Selandia Baru) dan ASD (Badan Intelijen Australia), melakukan penyadapan melalui perusahaan telekomunikasi.

Kedua badan itu menyadap komunikasi pejabat tinggi beberapa negara di Kepulauan Pasifik termasuk Indonesia. Mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), Edward J Snowden, yang membocorkan ini.

Isu ini ditanggapi keras sejumlah pengamat dan politisi tanah air. Mereka mendesak pemerintah agar mengklarifikasi secara resmi kepada Australia dan Selandia Baru.

Namun, saat dikonfirmasi ihwal ini Presiden Jokowi justru menanggapi santai. Bahkan, dia merasa tak disadap oleh dua negara sahabat itu.

"Nggak ada. Siapa yang sadap? Nggak ada, Nggak dengar, saya juga nggak merasa disadap," katanya.

Kesiapan Eksekusi

Presiden Joko Widodo tak goyah dengan keputusannya untuk tetap menyegerakan eksekusi mati terhadap terpidana gembong narkoba. Dia minta publik melihat isu hukuman mati terhadap kejahatan narkoba juga dari sisi korban yang mengonsumsinya.

"4,5 juta orang harus direhabilitasi karena peredaran narkoba. Sekarang ini kami ingin mengendalikan jumlah orang yang direhabilitasi secara penuh," kata Jokowi ketika diwawancarai secara eksklusif oleh stasiun berita Al Jazeera dan diunggah di media sosial pada Minggu, 8 Maret 2015.

Dari situ dia berpandangan bahwa hukuman mati terhadap gembong narkoba adalah hukuman yang sesuai. Ditegaskannya, dia tidak akan memberikan perlakuan khusus bagi dua gembong narkoba Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.

"Saya kira setiap vonis telah diputuskan oleh pengadilan. Kami tidak bisa bersikap diskriminatif dengan memperlakukan warga dari negara tertentu berbeda.

Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan, saat ini persiapan eksekusi sudah hampir rampung. Mereka tinggal menunggu proses peninjauan kembali yang diajukan terpidana warga Filipina, Mary Jane Viesta Veloso.

"Jangan bicara soal siapa orang-orang yang dieksekusi, tapi apa akibat yang ditimbulkan. Tolong itu yang dicatat," ujar dia



Credit  VIVA.co.id