Jumat, 27 Maret 2015

Ini Jet-jet Tempur Canggih Saudi Penggempur Yaman


Ini Jet jet Tempur Canggih Saudi Penggempur Yaman
Saudi mengerahkan banyak pesawat jet tempur untuk melakukan agresi militer di Yaman. Foto: Reuters.
 
 
RIYADH  (CB) - Arab Saudi pada Kamis kemarin secara resmi mengerahkan sejumlah pesawat jet tempur untuk membombardir milisi Houthi di Yaman. Setidaknya ada tiga pesawat jet tempur canggih yang diandalkan Saudi dalam agresi militer yang diberi nama “Operation Decisive Storm” itu.

Menurut Al Arabiya, Jumat (27/3/2015), tiga jet tempur utama yang diandalkan Saudi dalam menggempur Yaman adalah pesawat jet tempur Thyphoon Eropa, pesawat jet tempur F-15 buatan Amerika Serikat (AS) dan pesawat jet tempur Tornado buatan Inggris.

Pesawat jet tempur F-15 mulai diperkenalkan pada tahun 1988 dalam operasi  militer di sebagian besar wilayah di Timur Tengah, termasuk Irak. Pesawat ini juga jadi andalan ketika agresi militer terjadi di Afghanistan dan Libya.

Angkatan Udara Arab Saudi memiliki armada pesawat jet tempur F-15 terbesar setelah AS dan Jepang. Hal ini wajar, karena sejak 2014 Saudi tercatat sebagai importir senjata terbesar di dunia.

Pada tahun 2009, Angkatan Udara Arab Saudi juga menggunakan pesawat jet tempur F-15 dan pesawat jet Tornado saat membom kelompok Houthi di Yaman utara.

Sedangkan pesawat jet tempur Typhoon diperkenalkan tahun 2011, ketika Inggris dan Italia melakukan agresi di Libya untuk menggulingkan diktator Muammar Qaddafi. Pada bulan Februari tahun ini, Saudi juga menggunakan pesawat jet tempur Typhoon untuk menyerang kelompok Islamic of State Iraq and Syria (ISIS) di Suriah.

Sementara itu, pesawat jet Tornado pernah digunakan Angkatan Udara Arab Saudi tahun 1989 saat Perang Teluk antara Irak dan Kuwait. Saudi kala itu ikut dalam koalisi yang menyerang rezim Saddam Hussein di Irak. Kelompok peneliti IHS Jane, bulan ini telah merilis data, di mana Kerajaan Arab Saudi menjadi pemain utama di antara negara-negara monarki Teluk, dengan menjadi importir senjata terbesar di dunia.


Credit  SINDOnews