Seorang pasukan Kurdi berdiri di atas tank di pinggiran Kirkuk, Irak, belum lama ini. Konflik yang terjadi di sejumlah wilayah di Timur Tengah menjadikan wilayah ini sasaran ekspor senjata sejumlah negara eksportir seperti AS.
Berdasarkan data Institut Penelitian Perdamaian Internasional (SIPRI), nilai gabungan penjualan senjata pada 2012 dari 100 perusahaan besar pembuat senjata diperkirakan mencapai USD395 miliar (sekitar Rp5.221 triliun). Semakin berkembangnya industri senjata membuat atmosfer global semakin tinggi seiring dengan volume perdagangan senjata yang cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Hal itu dapat dilihat dari perbandingan 1980-an di mana persaingan hanya di tataran Amerika Serikat (AS) dan Soviet. Sejak 2010-2014, perputaran perdagangan senjata dan pertahanan terjadi di Timur Tengah dan Asia. ”Beberapa negara Teluk meningkatkan dan memodernisasi militer mereka,” kata Pieter Wezeman, peneliti senior SIPRI. Meskipun harga minyak mengalami penurunan, impor senjata di Timur Tengah justru meningkat.
”Beberapa negara Arab, bersama Mesir, Irak, Israel, dan Turki, akan mendapatkan pasokan perlengkapan perang dalam beberapa tahun mendatang,” imbuhnya. AS masih menjadi negara kuat yang belum dapat disaingi dalam industri pertahanan. Sebanyak 31% ekspor senjata internasional dikuasai AS, sedangkan Rusia hanya 27%. Jika digabungkan, AS dan Rusia menguasai 58% ekspor senjata.
Pelanggan senjata AS adalah mitra koalisinya, seperti Korea Selatan, Uni Emirat Arab dan Australia. Berbeda dengan Rusia yang menjual senjata dan perlengkapan pertahanan dalam skala luas tanpa mempertimbangkan koalisi mana pun. ”AS tetap melihat ekspor senjata sebagai kebijakan luar negeri prioritas dan alat keamanan. Namun, beberapa tahun terakhir, peningkatan ekspor senjata diperlukan untuk membantu industri pertahanan AS mempertahankan tingkat produksinya seiring dengan penurunan belanja militer AS,” kata Direktur Program Belanja Militer dan Senjata SIPRI kepada Deutsche Welle .
Penjualan persenjataan AS meningkat 23%. Sedikitnya 94 negara menggantungkan pasokan senjatanya dari AS. Pangsa pasar terbesar ekspor senjata AS berada di wilayah Timur Tengah yang mencapai 32%. Sementara Rusia menjadi negara penjual senjata terbesar kedua di dunia di bawah AS. Penjualan senjata Rusia meningkat 37% dalam kurun waktu 2010-2014.
Pasokan senjata buatan Rusia diekspor ke 56 negara, dengan India, China, dan Aljazair mencapai hampir 60%. Sementara negara-negara lain di Asia dan Oceania menerima 66% dari ekspor senjata Rusia selama periode tersebut dan wilayah Afrika 12%. Jika wilayah Timur Tengah menjadi sasaran menggiurkan bagi perusahaan senjata AS, tidak demikian dengan Rusia karena pasar senjata buatan Rusia di wilayah Timur Tengah hanya berkisar 10%.
Dua negara AS dan Rusia menguasai 58% dari total perdagangan global senjata konvensional. Kedekatan Moskow dan New Delhi menjadi daya tarik tersendiri dalam kerja sama militer. Perdana Menteri India pada Desember lalu mengungkapkan, Rusia merupakan sahabat dekat dan mitra strategis yang menguntungkan. Berikutnya di urutan ketiga negara yang menikmati manisnya bisnis senjata adalah China.
Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, Negeri Tirai Bambu ini mampu meningkatkan ekspor persenjataannya sampai 143% hingga memaksa Jerman keluar dari posisi tiga besar eksportir senjata di dunia. Prestasi ini juga langsung mendongkrak posisi China ke urutan ketiga daftar eksportir senjata dari sebelumnya hanya bertengger di urutan kesembilan. Asia masih menjadi pertarungan global untuk perdagangan pertahanan.
China memainkan peranan yang sangat penting. Selain menjadi eksportir, China juga mengimpor senjata. ”China memiliki keunggulan karena harganya murah, pembiayaan yang mudah dan pemerintahan yang lebih bersahabat,” kata Philip Saunders, Direktur Pusat Kajian Hubungan Militer China Universitas Pertahanan Nasional AS. Pelanggan perlengkapan pertahanan China adalah negara tetangganya seperti Pakistan, Bangladesh, Myanmar.
”Secara umum, China menawarkan kualitas sistem senjata medium dan kombinasi pasar di Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin,” imbuh Saunders seperti dilansir The Indian Panorama . Namun China masih mengimpor berbagai perlengkapan pertahanan dari Inggris, Prancis, dan Jerman. Jika AS, Rusia, dan China terus berhasil mendongkrak penjualan senjata, beda halnya dengan Uni Eropa. Ekspor persenjataan Uni Eropa justru anjlok 16% dalam lima tahun terakhir.
Bahkan pangsa pasar gabungan dari negara anggota Uni Eropa lebih rendah dibandingkan AS dan Rusia. Padahal lima tahun sebelumnya masih lebih tinggi. Fakta membuktikan bahwa negara yang mengalami konflik pasti akan meningkatkan jumlah belanja pertahanannya. Ketegangan antara Azerbaijan dan Armenia membuat keduanya meningkatkan jumlah anggaran pertahanan hingga 249% pada 2010-2014 dibandingkan pada 2005-2009.
Hal sama juga terlihat di beberapa negara yang berbatasan dengan Rusia, mereka meningkatkan pembelian pesawat tempur dan helikopter karena khawatir dengan ancaman Moskow.
Credit SINDOnews