Senin, 23 Maret 2015

Adu Kuat Belanja Senjata


Adu Kuat Belanja Senjata
Ilustrasi grafis
CB - Kebutuhan persenjataan terus meningkat seiring marak konflik di berbagai belahan dunia. Di antara semua negara, Arab Saudi menduduki posisi teratas dalam daftar importir senjata.

Fakta ini cukup mencengangkan karena sebelumnya Saudi hanya duduk di urutan kelima dalam tabel importir senjata. Berdasarkan data yang dikeluarkan Global Defense Trade, impor senjata Arab Saudi pada 2014 meningkat 54%.

Dari sebelumnya USD6,4miliar (sekitar Rp85,4 triliun) pada 2013 menjadi USD8,6 miliar (sekitar Rp113 triliun) pada 2014. Jumlah ini melebihi impor senjata gabungan negara-negara di Eropa Barat. Tingginya impor senjata Arab Saudi tak lepas dari ketegangan regional di Timur Tengah, muncul Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), serta ancaman dari Iran yang kini dinilai sebagai salah satu kekuatan yang mengancam.

Melihat pergerakan Saudi, Global Defense Trade memperkirakan jumlah impor senjata Saudi akan meningkat 52% menjadi USD9,8 miliar (sekitar Rp129 triliun) pada akhir tahun ini. Anggaran tersebut diprediksi dialokasikan untuk pembelian senjata tempur seperti F-15 dan jet tempur Typhoon. Benny Moores, analis senior IHS Aerospace Defense and Security, menerangkan, satu dari setiap tujuh dolar yang dihabiskan untuk impor senjata berasal dari kas Saudi. Jumlah ini tidak akan berkurang mengingat anggaran pertahanan Saudi terus meningkat.

”Pertumbuhan yang alami Arab Saudi sangat dramatis. Berdasarkan pesanan sebelumnya, tidak ada indikasi yang menunjukkan ada penurunan pemesanan senjata,” ungkap Moores, dilansir The Jerusalem Post. Menurut Moores, peningkatan anggaran pertahanan Arab Saudi menunjukkan muncul gejala kecemasan Riyadh terhadap Iran yang terlibat dalam beberapa konflik di Timur Tengah dan berpotensi mengancam geopolitik Saudi.

Riyadh menuding Iran mempersenjatai sejumlah kelompok militan Islam di Jalur Gaza, termasuk Hamas dan melahirkan militan baru yakni Syiah Houthi di Yaman. Mereka datang mewakili Barat dan Negara Teluk yang miskin untuk menciptakan kawasan baru yang sangat dipengaruhi Iran. Arab Saudi khawatir pengaruh Iran menyebar kewilayah lain diTimurTengah dan mengajak sahabat-sahabat Saudi untuk berpaling.

Faktanya, perasaan seperti ini tidak hanya dialami Arab Saudi, tapi juga sebagian besar negara Timur Tengah. Dalam laporan Global Defense Trade, Timur Tengah merupakan tujuan terbesar negara-negara eksportirsenjata. ”Ketika kita melihat ekspor maka kemungkinannya adalah lima dari 10 negara terkemuka di Timur Tengah. Timur Tengah adalah pasar regional terbesar dengan potensi setidaknya sampai USD110 triliun,” papar Moores.

Global Defense Trade dalam laporannya mengungkapkan, negara Asia dan Timur Tengah menjadi importir utama. Jika di posisi pertama ada Arab Saudi, posisi kedua importir senjata terbesar di dunia ditempati India dengan nilai impor mencapai USD5,5 miliar (sekitar Rp73 triliun). Peringkat India ini turun satu ranking dibanding tahun lalu yang menempati posisi pertama. Berikutnya China, Pakistan, dan Uni Emirat Arab.

Perlambatan impor senjata India terjadi karena penurunan ketegangan India dan tetangganya, Pakistan. Namun, ketegangan geopolitik India-Pakistan bukanlah motivasi utama India mengimpor senjata berteknologi tinggi. MenurutSiemonWezeman, penelitidari Arm Transfers Program, peningkatan kekuatan militer juga dilakukan India untuk meningkatkan prestise mereka di kawasan Asia. Ini terjadi karena di Asia masih sedikit sekali negara yang mampu memproduksi dan menjadi eksportir senjata.

Karena itu, menjadi importir terbaik adalah satu-satunya jalan untuk meningkatkan harga diri bangsa sekaligus ditakuti negara lain. Dengan itu, kewibawaan negara dapat dijaga. Peringkat ketiga tahun ini ada China yang menggelontorkan dana untuk impor senjata mencapai USD2,6 miliar (sekitar Rp34 triliun). Peringkat China tahun ini juga turun dibanding tahun lalu yang berada di posisi kedua. Tapi, dalam pandangan Direktur Industri Pertahanan dan Anggaran IHS Paul Burton, China akan kembali menambahkan anggaran pengadaan senjata sebab hubungan China dan negaranegara tetangganya seperti Jepang masih tegang.

”China masih membutuhkan bantuan kedirgantaraan militer dari Rusia dan anggaran pengadaan total akan terus meningkat dengan sangat cepat,” ungkap Burton.

Sementara itu, Eropa menjadi pihak yang paling sedikit mengimpor senjata karena kawasan ini memang belum rawan konflik. Tapi, menurut Wezeman, kondisi ini pasti akan berubah mengingat situasi Eropa juga semakin memanas, terutama karena ada krisis ekonomi dan sanksi terhadap Rusia yang membuat Negeri Beruang Kutub tersebut rentan melancarkan rudalnya. Wezeman berpendapat situasi atau konflik di Eropa bergantung pada diskusi antara Rusia dan negara-negara di sekitarnya seperti Ukraina, Polandia, dan Swedia. Apakah mereka memiliki rudal yang cukup berurusan dengan Rusia atau tidak.

”Itu semua bisa berubah bergantung kebijakan Rusia menggunakan rudalnya terhadap Ukraina. Namun, sejauh ini konflik Eropa cukup stabil sehingga tidak ada peningkatan jumlah pembelian senjata,” tutur Wezeman.





Credit  SINDOnews.com