Rabu, 04 Maret 2015

Hubungan Ukraina-Rusia Makin Buruk

Hubungan Ukraina-Rusia Makin Buruk
(Foto: Reuters)
TOKYO (CB) - Menteri Luar Negeri (Menlu) Ukraina Pavlo Klimkin menegaskan, tidak ada normalisasi hubungan diplomatik Moskow dan Kiev, kecuali pengembalian Crimea yang dicaplok Rusia.

Penegasan itu memupuskan harapan dua negara dapat duduk bersanding menyelesaikan berbagai ketegangan. “Tidak ada cara normalisasi atau mengembalikan hubungan antara Ukraina dan Rusia tanpa kembali ke status quo dan mengembalikan kedaulatan penuh Ukraina dengan Crimea,” ujar Klimkin di Tokyo kemarin, dilansir Reuters .

Rusia merebut Crimea yang membentang di Semenanjung Laut Hitam, dari Ukraina pada tahun lalu. “Selalu ada kurangnya kepercayaan dalam hubungan antara Ukraina dan Rusia. Kita tidak dapat bergantung dengan segala bentuk kesepakatan antara kita dan Rusia,” imbuhnya. Klimkin mengatakan, prasyarat utama lain yang diminta Ukraina yakni penutupan perbatasan Ukraina-Rusia. Lalu lintas uang, senjata, artileri, dan pergerakan pasukan pemberontak menjadi alasan utamanya.

“Itu semua membuat ketidakstabilan situasi di kotakota Ukraina timur seperti Donetsk dan Luhansk,” sebutnya. Apalagi, Kiev berulang menuding Moskow membantu pasukan pemberontak pro-Rusia di Ukraina timur. Meski perundingan gencatan senjata antara pemberontak pro-Rusia dan militer Ukraina pada 12 Februari lalu, Klimkin meragukan prospek perdamaian itu ke depan.

Dia meminta pengawasan internasional dalam memantau proses perdamaian. Pengawasan dapat dilakukan oleh misi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau misi Uni Eropa (UE). “Situasi di lapangan sangat sulit. Kita masih banyak mendapatkan banyak misil yang diluncurkan pemberontak di Ukraina timur,” papar Klimkin.

Para pemimpin Prancis, Jerman, dan Rusia telah sepakat dengan Ukraina untuk menempatkan perwakilan Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE) di 10 titik pengawasan gencatan senjata di Ukraina timur. Kesepakatan itu tercapai setelah percakapan melalui telepon antara Presiden Ukraina Petro Poroshenko, Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Prancis Francois Hollande, dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

“Para pemimpin negara itu sepakat OSCE seharusnya memainkan peranan penting dalam pengawasan dan penarikan senjata,” kata juru bicara Merkel, Steffen Seibert, dilansir AFP . Fakta di Ukraina timur, situasi terus memanas. Seorang pejabat militer Ukraina kemarin mengungkapkan, tiga tentara Ukraina dan sembilan terluka dalam pertempuran dengan pemberontak pro-Rusia dalam 24 jam terakhir.

Itu menjadi kekalahan bagi buruk bagi Kiev dalam beberapa hari terakhir. Gencatan senjata yang disepakati antara Rusia, Ukraina, dan pemberontak pro-Moskow tidak berjalan sukses. Baik Ukraina maupun pemberontak saling tuding dan menyalahkan. Itu berdampak buruk terhadap implementasi kesepakatan perdamaian di Minsk, ibu kota Belarusia. Apalagi, konflik Ukraina timur telah menewaskan lebih dari 6.000 jiwa. Optimisme justru muncul dari Menlu Amerika Serikat (AS) John Kerry dan Menlu Rusia Sergei Lavrov.

Mereka juga sepakat menggelar perundingan susulan di Jenewa, Swiss. AS juga tetap mengancam Rusia jika terus memperkeruh situasi di Ukraina timur. “Moskow dan pemberontak pro-Rusia di Ukraina harus mengimplementasikan gencatan senjata atau menghadapi konsekuensi yang dapat melemahkan ekonomi Moskow,” ancam Kerry.



Credit  SINDOnews