SHUTTERSTOCK
(Kiri)
Eddie Van Halen saat tampil dalam salah satu acara musik di California
19 Juli 2006. (Kanan) Eddie Van Halen saat menghadiri sebuah acara di
California 10 Maret 2013.
CB — Gitaris band rock, Eddie van Halen,
mengurai kisah perjalanan hidupnya yang berimigrasi dari berbagai
belahan negara. Ia menceritakan kisah perjalanannya hingga menjadi
gitaris ternama di dunia bersama bandnya, Van Halen.
Eddie van Halen adalah imigran Belanda yang lahir di Amsterdam dan datang ke Amerika Serikat ketika berusia tujuh tahun. Banyak yang mengira ia terlahir sebagai bintang rock. Tidaklah demikian kisahnya. Eddie menyusuri jalan kehidupan yang berliku pada masa kecilnya.
Keluarga Van Halen berimigrasi ke California pada 1962 membawa mimpi tinggal di "tanah terjanji". Ayahnya adalah musisi yang juga bekerja sebagai seorang cleaning service. Sementara itu, ibunya yang keturunan Indonesia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Keluarga Van Halen pernah tinggal di sebuah rumah bersama tiga keluarga lainnya.
"Kami datang ke sini (Amerika) dengan 50 dollar AS dan piano," ujar Van Halen.
"Kami datang dari belahan dunia lain tanpa uang, tanpa pekerjaan tetap, tanpa tempat tinggal, dan tidak bisa berbicara bahasa Inggris," tambahnya.
Dalam sebuah kesempatan lain, Eddie pernah menuturkan, ibunya, Eugenia van Beers, berasal dari Rangkasbitung, Banten. Ayah Eddie, Jan van Halen, bertemu dengan Eugenia di Indonesia saat penjajahan Belanda.
"Yang menyelamatkan kami adalah karena ayah saya seorang musisi dan lambat laun bertemu musisi lain dan manggung pada akhir pekan, mulai dari acara perkawinan sampai apa pun untuk menghasilkan uang," tutur Eddie.
Mulai bentuk grup band rock
Eddie kemudian membentuk salah satu band rock paling populer pada 1980-an bersama Alex van Halen (adik Eddie), Michael Anthony, dan David Leeroth. Van Halen, demikian nama band itu, diambil dari nama keluarga Eddie dan Alex. Lagu-lagunya yang populer antara lain "Jump" dan "Why Can't This Be Love".
Eddie kemudian berkisah tentang perlakuan diskriminatif yang ia terima karena ia keturunan Eropa-Asia (Indonesia). Perlakuan itu ia dapatkan saat bersekolah di Amerika.
"Sekolah pertama saya ketika itu masih memisahkan murid kulit putih dan kulit berwarna. Karena saya dianggap warga kelas dua saat itu, saya disamakan dengan orang-orang kulit hitam. Sulit sekali saat itu," ujarnya.
Eddie mengatakan, keluarganya sangat senang bermain musik. Bahkan, saat mereka masih kecil, Edie dan Alex sering bermain dengan panci dan wajan, sementara sang ayah berlatih musik.
Eddie sendiri tidak pernah belajar membaca not balok. Meski begitu, ia berdalih memiliki pendengaran yang tajam.
"Saya diberkahi telinga yang bagus. Saya harus melihat jari-jari saya bergerak. Percaya atau tidak, saya tidak pernah bisa bermain gitar secara bagus dalam kegelapan. Saya harus melihat jari-jari saya," ujarnya.
Untuk menjaga warna musik Van Halen tetap relevan, band itu bersikeras tidak mengikuti tren. Eddie menceritakan, bandnya pernah mencoba warna musik lain.
"Kami dikontrak oleh Warner Brothers pada 1977 di tengah tren punk dan disco. Kami tampak aneh. Tentu saja kalau main di klub kami main lagu-lagu Top 40, tetapi saya tidak pernah bisa membuat suara seperti semestinya. Saya tidak bisa meniru permainan orang," ujarnya.
Eddie van Halen adalah imigran Belanda yang lahir di Amsterdam dan datang ke Amerika Serikat ketika berusia tujuh tahun. Banyak yang mengira ia terlahir sebagai bintang rock. Tidaklah demikian kisahnya. Eddie menyusuri jalan kehidupan yang berliku pada masa kecilnya.
Keluarga Van Halen berimigrasi ke California pada 1962 membawa mimpi tinggal di "tanah terjanji". Ayahnya adalah musisi yang juga bekerja sebagai seorang cleaning service. Sementara itu, ibunya yang keturunan Indonesia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Keluarga Van Halen pernah tinggal di sebuah rumah bersama tiga keluarga lainnya.
"Kami datang ke sini (Amerika) dengan 50 dollar AS dan piano," ujar Van Halen.
"Kami datang dari belahan dunia lain tanpa uang, tanpa pekerjaan tetap, tanpa tempat tinggal, dan tidak bisa berbicara bahasa Inggris," tambahnya.
Dalam sebuah kesempatan lain, Eddie pernah menuturkan, ibunya, Eugenia van Beers, berasal dari Rangkasbitung, Banten. Ayah Eddie, Jan van Halen, bertemu dengan Eugenia di Indonesia saat penjajahan Belanda.
"Yang menyelamatkan kami adalah karena ayah saya seorang musisi dan lambat laun bertemu musisi lain dan manggung pada akhir pekan, mulai dari acara perkawinan sampai apa pun untuk menghasilkan uang," tutur Eddie.
Mulai bentuk grup band rock
Eddie kemudian membentuk salah satu band rock paling populer pada 1980-an bersama Alex van Halen (adik Eddie), Michael Anthony, dan David Leeroth. Van Halen, demikian nama band itu, diambil dari nama keluarga Eddie dan Alex. Lagu-lagunya yang populer antara lain "Jump" dan "Why Can't This Be Love".
Eddie kemudian berkisah tentang perlakuan diskriminatif yang ia terima karena ia keturunan Eropa-Asia (Indonesia). Perlakuan itu ia dapatkan saat bersekolah di Amerika.
"Sekolah pertama saya ketika itu masih memisahkan murid kulit putih dan kulit berwarna. Karena saya dianggap warga kelas dua saat itu, saya disamakan dengan orang-orang kulit hitam. Sulit sekali saat itu," ujarnya.
Eddie mengatakan, keluarganya sangat senang bermain musik. Bahkan, saat mereka masih kecil, Edie dan Alex sering bermain dengan panci dan wajan, sementara sang ayah berlatih musik.
Eddie sendiri tidak pernah belajar membaca not balok. Meski begitu, ia berdalih memiliki pendengaran yang tajam.
"Saya diberkahi telinga yang bagus. Saya harus melihat jari-jari saya bergerak. Percaya atau tidak, saya tidak pernah bisa bermain gitar secara bagus dalam kegelapan. Saya harus melihat jari-jari saya," ujarnya.
Untuk menjaga warna musik Van Halen tetap relevan, band itu bersikeras tidak mengikuti tren. Eddie menceritakan, bandnya pernah mencoba warna musik lain.
"Kami dikontrak oleh Warner Brothers pada 1977 di tengah tren punk dan disco. Kami tampak aneh. Tentu saja kalau main di klub kami main lagu-lagu Top 40, tetapi saya tidak pernah bisa membuat suara seperti semestinya. Saya tidak bisa meniru permainan orang," ujarnya.
Credit KOMPAS.com