/ Unta membawa terigu yang dikendarai oleh penunggang unta dari Afghanistan di Queensland Barat.
CB - Masjid tertua di New South Wales menyimpan banyak sejarah mengenai pedalaman Australia. Namun, sejarah itu terancam hilang lantaran tidak pasti siapa yang akan mengurus dan merawat masjid bersejarah tersebut.
Masjid tertua di New South Wales itu bukan terletak di tengah permukiman warga di Sydney, melainkan lokasinya jauh berada di pedalaman, tepatnya di Kota Pertambangan Broken Hill, sekitar 1.000 kilometer sebelah barat Sydney.
Masjid yang dibangun tahun 1891 digunakan oleh penghuni kamp penunggang unta yang terdapat di bagian Utara Broken Hill. Saat ini masjid bersejarah itu dirawat oleh Bob Shamroze, anak dari penunggang unta terakhir di Australia, seorang imigran yang tiba pada akhir tahun 1800-an hingga awal 1900-an untuk membangun pedalaman Australia.
Awalnya para pemukim Eropa menggunakan kuda untuk menjelajah Australia Tengah, namun dengan cepat mereka menyadari kalau kuda dan mobil bukan tunggangan yang cocok untuk medan di sana oleh karena itu mereka menggunakan unta sebagai alternatif.
Tidak diketahui pasti bagaimana cara unta-unta itu didatangkan, namun para pemukim asal Eropa banyak merekrut pekerja dari berbagai negara termasuk Pakistan, Turki, Mesir, dan Afganistan.
Mereka kemudian dikenal dengan sebutan cameleers atau penunggang unta dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari perekonomian Australia, karena merekalah yang membawa berbagai macam pasokan barang kebutuhan, surat dan air ke permukiman-permukiman warga Eropa.
Beberapa bahan kebutuhan pokok yang mereka bawa juga membantu pembangunan kabel telegraf dan rel kereta Trans-Australia.
Sebagian besar dari pekerja asal Timur Tengan itu adalah para pemuda Muslim, lebih dari 15.000 unta dan 2.000 penunggang unta diyakini telah tiba di Australia antara tahun 1870 dan 1900.
Masjid di Broken Hill ini merupakan satu-satunya masjid yang dibangun oleh penunggang unta yang mampu bertahan hingga saat ini.
Menurut Shamroze, ayah dan kakeknya adalah penunggang unta, begitu juga dengan kedua pamannya, namun saat ini Shamroze merupakan keturunan terakhir dari silsilah keluarganya.
"Pada tahun 1960 ketika kakek saya meninggal, saya dan satu orang paman saya yang lain terpaksa memandikannya di lantai dengan beralaskan pintu tua sebelum menguburkannya," tuturnya. "Ketika itu saya baru berusia 20 tahun."
Dia ingat bagaimana dia harus menguburkan jenazah kakeknya, di mana mereka harus meletakkan papan kayu beberapa inci di atas peti jenazah karena perlu ada celah antara peti jenazah dengan tanah.
"Itu bukan masalah bagi saya karena saya pernah juga melakukan beberapa kali sejak kakek saya meninggal, saya menguburkan jenazah kakak saya beberapa tahun setelah itu ketika Ia meninggal, memandikannya, dan menguburkannya,' katanya.
Awal tahun ini saudara perempuannya juga meninggal dan karena ia tidak memiliki anak maka Shamroze tidak yakin apa yang akan terjadi dengan masjid tua itu jika nanti dirinya tidak lagi bisa merawat masjid tersebut.
Satu hal yang bisa dipastikannya adalah peran dari para penunggang unta dalam pembukaan kawasan di Australia. Menurutnya, kawasan pembangunan di Broken Hill akan ketinggalan 40 - 50 tahun jika penunggang unta tidak melakukan kerja yang luar biasa.
"Saya tidak akan mau menunggang unta hingga ke kawasan Tibooburra, sampai ke White Cliffs atau turun ke Wentworth," tuturnya. "Mustahil sekali saya bisa melakukan itu dan saya kira tidak ada juga orang yang mau melakukannya."
Meskipun para penunggang kuda di Australia sudak tidak ada lagi, namun masjid berdinding terbuat dari papan besi bergelombang berwarna merah ini tetap menjadi warisan atas peran penting mereka dalam sejarah Australia.
Masjid di Broken Hill ini terbuka untuk tempat beribadah dan sebagai obyek wisata dengan perjanjian.
Credit KOMPAS.com