Jumat, 27 Februari 2015

Menentang Hukuman Mati, Perancis Tetap Hormati Hukum RI


Menentang Hukuman Mati, Perancis Tetap Hormati Hukum RI  
Sabine Atlaoui, istri dari Serge Atlaoui warga negara Perancis terpidana mati kasus narkoba, memohon pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan kembali eksekusi mati yang akan dilakukan dalam waktu dekat. (CNN Indonesia/Safir Makki)
 
 
Jakarta, CB -- Penolakan eksekusi mati terhadap sejumlah terpidana mati kasus narkoba di Indonesia mendapat kecaman dari berbagai negara. Tak hanya Australia dan Brasil, warga Perancis juga menentang hukuman mati terhadap warganya yang terseret kasus narkoba di Indonesia.

"Perancis menentang hukuman mati di mana saja dan dalam keadaan apapun," ujar Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Corinne Breuze, dalam jumpa pers di Kedutaan Besar Perancis di Jakarta, Kamis (26/2).

Menurut penuturan Breuze, Perancis sendiri telah menghapuskan hukuman mati sejak 1981. Sejak saat itu, tidak ada warga negara Perancis yang dieksekusi mati di manapun.

"Sudah 40 tahun tidak ada warga Perancis yang dieksekusi mati. Oleh karena itu, situasi ini menimbulkan keresahan mendalam di tengah masyarakat," tutur Breuze.

Kendati demikian, Breuze menekankan bahwa Perancis menghormati hukum yang berlaku di Indonesia.

"Perancis mendukung warganya secara moral dan yakin upaya PK dan proses pemeriksaan akan berjalan seadil-adilnya," kata Breuze.

Nama salah satu warga Perancis, Serge Atlaoui, masuk dalam daftar yang akan dieksekusi mati terkait kasus narkoba.

Serge diringkus pada 2005 silam karena terlibat dalam aktivitas pabrik ekstasi di Cikende, Banten, sebagai teknisi mesin. Setelah menjalani proses peradilan, Serge akhirnya divonis hukuman mati pada 2007.

Senasib dengan beberapa terpidana mati lain, grasi yang diajukan Serge kepada Presiden Joko Widodo juga ditolak pada Januari lalu.

Namun, kuasa hukum Serge, Nancy Yuliana, mengatakan bahwa itu bukan berarti upaya hukum selanjutnya tidak dapat dijalani. Akhirnya, tim kuasa hukum mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Tangerang pada 10 Februari lalu dan sidang dijadwalkan digelar 11 Maret mendatang.

Sementara itu, Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan bahwa eksekusi mati akan tetap dilaksanakan. Namun, Prasetyo enggan mengungkapkan waktu eksekusi tersebut.

“Ditekan seperti apapun, kami akan jalan terus. Ini konsistensi penegakan hukum dan kedaulatan negara,” ucapnya.

Prasetyo melontarkan pernyataan ini setelah adanya terpaan penolakan dari beberapa negara, terutama Australia dan Brasil.

Australia mengerahkan segala daya untuk mencegah eksekusi mati dua warga negaranya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, bahkan sampai mengaitkan bantuan Australia untuk tsunami Aceh dengan keharusan Indonesia membalas budi dengan membebaskan Sukumaran dan Chan.

Chan dan Sukumaran adalah anggota kelompok yang disebut sebagai Bali Nine. Mereka dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 17 April 2005 karena berupaya menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram dari Indonesia ke Australia.

Mereka akan dieksekusi bersama sepuluh terpidana mati dalam kasus narkoba lainnya yang merupakan warga Brasil, Perancis, Ghana, Nigeria, dan Filipina, serta empat warga negara Indonesia.

Tak hanya dari Australia, tekanan juga datang dari Brasil yang pada Jumat (20/2) menunda penerimaan surat kepercayaan Duta Besar Indonesia, Toto Riyanto. Proses penundaan Brasil ketika Toto sudah berada di Istana Presiden Brasil dianggap tidak terhormat.

Menyatakan protes, Indonesia akhirnya menarik kembali Toto ke Indonesia dan memanggil Duta Besar Brasil untuk Indonesia ke Kementerian Luar Negeri guna menyampaikan nota protes tepat pukul 22.00 WIB. Kini, Indonesia tengah menimbang kembali kerja sama dengan Brasil.

Credit   CNN Indonesia