Rabu, 17 Desember 2014

Indonesia Butuh Minimal 40 PLTN pada 2050


Inti nuklir di dalam kolam reaktor riset nuklir di reaktor serba guna G. A Siwabessy milik Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten. (Ilustrasi: Antara/BNPT) 
Inti nuklir di dalam kolam reaktor riset nuklir di reaktor serba guna G. A Siwabessy milik Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten. (Ilustrasi: Antara/BNPT) 
 
 
CB, Jakarta: Indonesia idealnya memiliki setidaknya 40 PLTN pada 2050 mendatang. Jumlah ini diperlukan untuk memenuhi pasokan kebutuhan listrik nasional.

Satu reaktor PLTN setidaknya harus dapat menghasilkan sekurang-kurangnya 1000 megawatt jika ingin memenuhi kebutuhan listrik nasional.

Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Djarot Wisnubroto mengatakan pembangunan satu PLTN membutuhkan setidaknya delapan hingga sepuluh tahun lamanya. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun satu PLTN sangat tergantung kepada besaran daya yang dihasilkan.

Untuk membangun PLTN yang mampu menghasilkan 150 megawatt dibutuhkan dana setidaknya Rp10 triliun. Sementara itu untuk membangun PLTN yang mampu menghasilkan daya sebesar 1.000 megawatt dibutuhkan dana Rp30 triliun sampai Rp40 triliun.

Indonesia membutuhkan energi listrik sebesar 115 gigawatt pada 2025 mendatang. Pada saat ini energi listrik yang dihasilkan baru mencapai 36 gigawatt.

"Untuk memenuhi kekurangan pasokan energi listrik maka perlu dibangun PLTN sebagai alternatif dari penggunaan energi baru dan dapat diperbaharui," ujarnya.

Berdasarkan Perpres nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dibutuhkan setidaknya empat PLTN di Indonesia pada 2025 mendatang. Kalaupun keempat PLTN sudah dibangun sebelum 2025, mereka baru dapat memasok 2% kebutuhan listrik nasional.

Djarot menegaskan pemerintah tidak pernah menomorsatukan suatu jenis sumber energi tertentu. Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 5 tahun 2006, nuklir masih menjadi pilihan sumber energi yang dapat digunakan.

"Walaupun menjadi pilihan terakhir tapi bukan berarti nuklir baru dipakai saat sumber energi lain sudah habis. Jalan yang sudah dibangun kearah sana sudah jauh dimulai sebelum nuklir digunakan," tandasnya.

Sosialisasi nuklir yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 14 tahun 2011 mengenai percepatan pembangunan nasional menunjukkan pemerintah mengakui nuklir sebagai salah satu bentuk kekuatan yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan nasional.

Djarot mengatakan semuanya tergantung kepada kesiapan semua lini pemerintahan dan sejauh mana masyarakat memahami dan menerima nuklir. BATAN hanya berpikir soal pengembangan teknologi nuklir dan keselamatannya.

Program nuklir, baik energi maupun non energi, adalah kebijakan pemerintah. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah berkomitmen mengurang emisi karbon menjadi 26% pada 2020. Karena itu, penggunaan PLTN menjadi tidak terhindarkan.

Investasi awal pembangunan PLTN, kata Djarot, memang terbilang mahal. Namun saat bicara mengenai operasional maka akan menjadi lebih murah. Kelemahan lainnya adalah kebijakan ini sangat tergantung lintas parpol atau politisi.


Credit Metrotvnews.com