Ilustrasi polisi Myanmar. (AFP PHOTO/STR)
Melalui pemberitaan di media milik pemerintah, Myanmar mengonfirmasi bahwa bentrokan antara polisi dan kelompok Tentara Arakan itu sudah dimulai sejak awal Desember 2018 lalu.
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB melaporkan bahwa sejak bentrokan terbaru itu pecah pada 8 Desember lalu, 2.500 orang mengungsi, 1.500 di antaranya merupakan korban perseteruan yang memanas sedari pekan lalu.
Global New Light of Myanmar melaporkan bahwa salah satu bentrokan teranyar di Rakhine terjadi pada Selasa (1/1), ketika satu polisi terluka parah setelah sekitar 30 pria yang membawa "senjata ringan dan berat" melancarkan serangan ke penjaga perbatasan.
Juru bicara Tentara Arakan, Khin Thu Kha, membantah laporan bahwa kelompoknya menyerang polisi lebih dulu. Namun, ia mengakui bahwa Tentara Arakan terlibat bentrok dengan pasukan keamanan pemerintah di Saytuang pada Selasa.
Menurut Khin, Myanmar memang mengerahkan ratusan polisi untuk menjaga perbatasan dengan Bangladesh sebagai bagian dari operasi melawan Tentara Arakan.
"Hari ini, bentrokan pecah pukul 08.00," katanya.
Sementara itu, juru bicara militer Myanmar, Tun Tun Nyi, menolak permintaan komentar dari Reuters.
Kabar ini tersiar di tengah masa gencatan senjata yang dicanangkan militer sejak Desember untuk menghentikan pertikaian di kawasan utara dan tenggara Myanmar demi membuka jalan negosiasi damai dengan sejumlah kelompok pemberontak.
Rakhine, yang terletak di barat Myanmar, tak termasuk dalam perjanjian gencatan senjata tersebut. Kenyataan ini menimbulkan keraguan sejumlah pihak akan kemauan militer mengakhiri konflik di seluruh pelosok Myanmar.
Negara bagian tersebut selama ini menjadi sorotan karena menjadi lokasi kekerasan militer terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya yang menyebabkan setidaknya 1.000 orang tewas dan 730 ribu lainnya mengungsi ke Bangladesh sejak Agustus 2017.
Credit cnnindonesia.com